PEKANBARU (RA) - Ketua Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan (AMMP), Wandri Saputra Simbolon, secara terbuka menantang Menteri Kehutanan dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) untuk berani membuka ruang dialog dengan masyarakat terkait polemik Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Provinsi Riau, yang disebut-sebut telah rusak dan menimbulkan konflik berkepanjangan.
Wandri mempertanyakan keberanian pemerintah pusat dan Satgas PKH untuk berdialog langsung dengan masyarakat yang terdampak.
"Apakah pemerintah pusat berani berdialog dengan masyarakat? Apakah Satgas PKH berani berdialog? Apakah Satgas sudah menjalankan tugas sesuai Pasal 33 UUD 1945?" tegas Wandri kepada Riauaktual.com, Salasa (23/12/2025).
Ia menegaskan bahwa kebijakan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.
Menurutnya, UUD 1945 memiliki kedudukan hukum lebih tinggi dibandingkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk menekan masyarakat tanpa kepastian hukum yang jelas.
Wandri juga menyoroti pengakuan Pemerintah Provinsi Riau yang menyebutkan bahwa status TNTN hingga kini masih sebatas penunjukan, bukan penetapan.
"Kalau masih penunjukan, berarti belum memiliki kekuatan hukum tetap. Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011 jelas menyatakan kawasan hutan memiliki kepastian hukum setelah ditetapkan dan dikukuhkan," ujarnya.
Ia menantang pemerintah untuk membuka seluruh dokumen resmi, mulai dari penunjukan, tapal batas, pemetaan, hingga pengukuhan TNTN, bukan hanya klaim sepihak tanpa bukti dokumentasi yang bisa diuji publik.
Tak hanya itu, AMMP juga mendesak penegakan hukum secara adil. Wandri menyebut, jika memang terdapat pelanggaran pidana, maka perusahaan pemilik izin lama, perusahaan dengan HGU berlebih, korporasi besar, hingga oknum pemerintah daerah harus diperiksa secara menyeluruh.
"Termasuk Kementerian Kehutanan dan Balai TNTN. Jika TNTN benar ada, dua lembaga inilah yang paling bertanggung jawab menjelaskan ke publik apa yang sebenarnya terjadi," tegasnya.
AMMP menilai absennya dialog terbuka berpotensi memicu konflik horizontal dan vertikal yang lebih besar.
Masyarakat, kata Wandri, menolak keras rencana relokasi dan akan tetap bertahan di wilayah masing-masing.
"Kami menolak relokasi. Jangan ada intimidasi terhadap masyarakat," katanya.
Wandri juga menyampaikan kekecewaan terhadap Pemerintah Provinsi Riau yang dinilai gagal menepati janji memfasilitasi dialog dengan pemerintah pusat, meski telah dilakukan serangkaian aksi unjuk rasa di kantor gubernur, DPRD Riau, hingga DPRD Pelalawan.
"Semua hanya janji manis. Jika Januari ini pemerintah provinsi Riau tidak juga memfasilitasi dialog dengan pemerintah pusat, kami akan melakukan aksi besar-besaran. Bahkan tidak menutup kemungkinan kami akan mengungsi di Kantor Gubernur," tegasnya.
Ia menutup pernyataan dengan mengingatkan bahwa masyarakat Riau bukan objek yang bisa diabaikan.
"Ini masyarakat Riau, bukan masyarakat pusat. Kami memilih gubernur, bupati, dan DPRD. Jangan abaikan suara rakyat," pungkasnya.