Riauaktual.com - Sejak aktivitas Gunung Agung meningkat, hampir setiap hari Pos Pengamatan di Desa Rendang, Karangsem tak sepi dari kesibukan petugas maupun wartawan yang melakukan peliputan.
Padahal sejak terakhir meletus tahun 1963, pos ini baru didirikan pertengahan tahun 1964 sebagai pusat pantauan aktivitas gunung yang disucikan di Bali itu.
Pada awal pendirian, pos pantau hanya berbentuk sebuah gubuk mungil. Kini pos pantau terdiri dari dua bangunan. Satu bangunan berlantai dua menjadi pusat kegiatan pemantauan mulai ramai sejak September 2017.
Di tengah aktivitas meliput perkembangan Gunung Agung, kehadiran Nenek Rauh memberi arti tersendiri bagi wartawan.
Ibu berumur 57 tahun ini seorang penjual kopi seduh. Tak mahal harga yang dipatok. Satu gelas kopi hangat nan nikmat bisa dipesan seharga Rp 2.000. Sungguh di kondisi yang seperti ini, kopi merupakan teman liputan yang yahud.
Ada cerita unik saat Gunung Agung menyemburkan abu vulkanik Rabu kemarin. Wartawan dan petugas yang berada di pos penjagaan terjebak oleh hujan debu. Risiko untuk turun dan pulang ke rumah pun tinggi jika dipaksakan. Alhasil, awak media memilih bermalam di pos.
Tak ada persiapan bekal yang memadai, membuat wartawan kesulitan mengisi perut di tengah dingin dan buruknya cuaca. Beruntung, lapak dagangan Nenek Rauh inilah yang menolong. Selain berjualan nasi bungkus, dia juga menyediakan mi instan.
Bahkan Nenek dengan dua cucu ini sampai mendirikan tenda di belakang pos, untuk tempat beristirahat dan menyimpan barang dagangan.
"Saya sebenarnya cuma ingin bantu petugas. Kasihan tiap hari lihatin gunung saja. Sekarang sudah ramai, dulu sepi sekali," ucap Nenek Rauh saat berbincang dengan merdeka.com, Rabu kemarin.
Tidak jarang dia mengingatkan kepada petugas dan awak media yang sampai harus hujan-hujanan. Katanya abunya sangat bahaya dibawa air hujan.
Ia mengaku setiap pagi harus turun mencari perbekalan untuk dijual di pos pantau hingga larut malam.
"Rumah Nenek di bawah di Desa Rendang. Ada 3 km dari jalan utama," akunya.
Sebenarnya apa yang dijual oleh Nenek ini tidak mengambil keuntungan. Terlebih jika dilihat dari usahanya berjalan membawa barang dagangan.
Sekali lagi tujuan nenek ini dari awal hanya kasihan melihat petugas dan awak media harus kelimpungan cari kopi serta jajanan dan makanan saat di Pos Pengamatan Gunung Agung.
Begitu kentalnya dan akrabnya hingga nenek ini tidak hanya kenal nama wartawan tetapi juga medianya.
Setidaknya kopi panas buatan nenek ini menenangkan rasa tegang di pos pengamatan selama ini. "Terima kasih ya Nek." (wan)
Sumber: merdeka.com