RIAUAKTUAL.COM (RA) - Tradisi adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat secara berulang-ulang dalam kurun waktu yang panjang. Indonesia, dengan keberagaman budayanya, memiliki banyak tradisi unik di setiap wilayah. Salah satunya adalah tradisi "Mancaliak Bulan" yang berasal dari Pariaman, Minangkabau. Tradisi ini menjadi ciri khas yang tidak hanya memperkaya budaya setempat, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal yang patut dihargai.
Pariaman, sebagai salah satu daerah di Minangkabau, memiliki tradisi unik menjelang bulan Ramadan, yaitu mancaliak bulan. Dalam bahasa Minangkabau, mancaliak berarti "melihat". Tradisi ini merujuk pada aktivitas melihat bulan secara langsung untuk menentukan awal Ramadan. Proses ini dilakukan dengan mata telanjang, berbeda dengan metode modern yang menggunakan alat seperti teropong.
Bagi masyarakat Pariaman, tradisi mancaliak bulan merupakan bagian penting dari persiapan menyambut Ramadan. Tradisi ini dijalankan berdasarkan perhitungan kalender Hijriyah yang dilakukan oleh ulama setempat. Hal ini terkadang berbeda dengan penetapan resmi pemerintah, sehingga memunculkan perbedaan waktu dalam memulai puasa. Sayangnya, tradisi ini sering dianggap kuno oleh sebagian pihak yang kurang memahami nilai budaya di baliknya.
Meski kerap mendapat kritik, tradisi mancaliak bulan tetap eksis hingga kini. Sikap meremehkan atau bahkan menghina tradisi ini mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap budaya lokal. Tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun seharusnya dijaga dan dilestarikan, bukan dijadikan bahan perdebatan atau perbandingan yang tidak elok.
Menurut catatan sejarah, tradisi mancaliak bulan di Pariaman berkaitan erat dengan ajaran Tarekat Syattariyah yang diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin. Beliau adalah tokoh penyebar Islam di Minangkabau dan kampung halamannya, Ulakan, menjadi pusat pengajaran Islam dan Tarekat Syattariyah. Hingga kini, masyarakat Pariaman yang menganut ajaran ini tetap melestarikan tradisi yang diwariskan oleh Syekh Burhanuddin.
Setiap tahun, menjelang Ramadan, masyarakat Pariaman berkumpul di Ulakan untuk melakukan mancaliak bulan. Lokasi ini, yang berada di tepi pantai, dianggap strategis untuk melihat bulan. Selain itu, banyak orang juga berziarah ke makam Syekh Burhanuddin di Ulakan sebagai bentuk penghormatan atas jasa beliau dalam menyebarkan Islam di wilayah tersebut.
Keberadaan tradisi mancaliak bulan menjadi salah satu identitas budaya Pariaman yang tetap hidup hingga kini. Namun, tantangan berupa kritik dari pihak luar terus menghantui. Tradisi ini sering dianggap ketinggalan zaman oleh masyarakat modern yang lebih memilih mengikuti metode ilmiah. Padahal, menghargai tradisi adalah bagian dari menjaga keberagaman budaya bangsa.
Sebagai masyarakat yang berbudaya, kita seharusnya menghormati perbedaan tradisi di setiap daerah. Sesuai dengan pepatah Minangkabau, “Lain lubuk lain ikannya”, setiap wilayah memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Perbedaan dalam menentukan awal puasa, misalnya, bukanlah hal yang harus diperdebatkan atau dijadikan bahan perselisihan.
Tradisi seperti mancaliak bulan bukan sekadar ritual, tetapi juga representasi kearifan lokal yang mencerminkan identitas dan keyakinan masyarakat. Menghargai tradisi adalah bentuk penghormatan terhadap sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat setempat.
Penulis:
Abdul Jamil Al Rasyid
Lahir di Padang Pariaman, Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau Universitas Andalas