MK Putusan Masyarakat Adat Diperbolehkan Berkebun Sawit di Kawasan Hutan

Jumat, 17 Oktober 2025 | 08:50:28 WIB
Sidang MK

JAKARTA (RA) – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa masyarakat adat atau kelompok yang telah hidup turun-temurun di kawasan hutan dapat melakukan kegiatan perkebunan di wilayah tersebut. Namun, kegiatan tersebut hanya diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan untuk kepentingan komersial.

Putusan ini diambil setelah MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Menurut Mahkamah, larangan bagi setiap orang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat dikecualikan bagi masyarakat adat yang hidup turun-temurun di dalam hutan dan tidak berorientasi komersial.

"Sepanjang tidak dimaknai ‘dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial’," ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis kemarin dikutip dari situs resmi MK, Jumat (17/10/2025).

Sebelumnya, Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU Cipta Kerja mengatur bahwa “setiap orang dilarang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat.”

Hakim Konstitusi Enny Nuraningsih menjelaskan, larangan tersebut kini tidak berlaku bagi masyarakat yang hidup turun-temurun di dalam hutan, selama kegiatan perkebunan mereka tidak bersifat komersial.

"Ketentuan itu tidak dilarang bagi masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial," jelas Enny.

Enny menambahkan, norma pasal tersebut berkaitan erat dengan Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014 yang sebelumnya telah memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat di dalam kawasan hutan.

Dengan demikian, masyarakat adat yang hidup di kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan tidak dapat dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 110B ayat (1) UU 6/2023.

Enny juga menegaskan bahwa masyarakat yang berkebun untuk kebutuhan hidup tidak perlu memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Sebab, perizinan berusaha hanya diperuntukkan bagi pelaku usaha yang menjalankan kegiatan ekonomi secara komersial.

"Sepanjang kegiatan perkebunan yang dilakukan masyarakat tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, mereka tidak perlu memperoleh perizinan berusaha," tutur Enny.

Karena itu, MK memutuskan bahwa dalil permohonan uji materi yang diajukan oleh pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Perlu Penataan Kawasan Hutan Secara Komprehensif

Dalam pertimbangan lainnya, MK menyoroti perlunya penataan kawasan hutan secara komprehensif. Selama ini, berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2013, kegiatan perkebunan yang terlanjur terbangun di kawasan hutan tanpa izin langsung dikenakan sanksi pidana.

Padahal, banyak kondisi faktual menunjukkan bahwa terdapat kegiatan masyarakat dan pemukiman di dalam kawasan hutan akibat ketidakharmonisan tata ruang antara pemerintah pusat dan daerah.

Melalui UU 6/2023, pemerintah kini diharapkan tidak hanya bersikap represif, tetapi juga mempertimbangkan aspek partisipasi dan perlindungan bagi masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian hutan.

"Berlakunya Pasal 110B UU a quo dimaksudkan untuk mengakomodasi kegiatan di luar bidang kehutanan yang bersifat komersial. Pemerintah harus segera menyelesaikan penataan kawasan hutan secara komprehensif," ujar Enny.

Perkara Nomor 181/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch), lembaga yang berdiri sejak 1998 dan fokus mengkaji kebijakan serta dampak pengelolaan sawit terhadap ekologi, sosial, dan ekonomi.

Pemohon, yang diwakili oleh Koordinator Badan Pengurus Sawit Watch, Nurhanudin Achmad, menilai bahwa sanksi administratif dalam UU 18/2013 dan UU 6/2023 tidak menjadi solusi bagi masyarakat kecil.

Menurut mereka, kebijakan tersebut justru berpotensi menjadi bentuk pemutihan bagi perusahaan besar yang mengelola perkebunan sawit di kawasan hutan tanpa izin.

Pemohon menilai, pemerintah seharusnya bersikap persuasif terhadap masyarakat yang tinggal di atau sekitar kawasan hutan, dengan melakukan pendataan dan penataan ulang kawasan hutan secara adil.

Terkini

Terpopuler