PEKANBARU (RA) - Upaya pemulihan sosial dan lingkungan melalui skema Remediasi Forest Stewardship Council (FSC) terus bergulir di Riau. Program yang digerakkan Petala Unggul Gesang (PUG) ini kini melibatkan masyarakat desa, akademisi, hingga pemerintah kabupaten.
Direktur PUG, Nazir Foead, mengatakan sejak Januari 2025 pihaknya telah menggelar workshop dan pengenalan konsep remediasi di berbagai daerah.
"Sejak Januari 2025, kami melakukan pengenalan apa itu remediasi melalui workshop di Kuansing, Pelalawan, Indragiri Hulu, dan Siak," ujar Nazir, lulusan Fakultas Kehutanan UGM, Selasa (2/12/2025).
Nazir menyebut program ini mendapat sambutan positif dari berbagai pihak.
"Menteri Kehutanan menyambut baik kegiatan remediasi ini. Para bupati juga memberikan dukungan," katanya.
Menurut Nazir, dalam agenda presentasi besok, perwakilan desa akan menyampaikan hasil identifikasi masalah serta harapan masyarakat.
"Ada bupati dan profesor juga yang hadir. Kita harap perusahaan merespons positif dan mau mendengar aspirasi masyarakat," tegasnya.
Senior Advisor Kementerian Kehutanan sekaligus akademisi, Dr. Soeryo Adiwibowo, menilai remediasi FSC menjadi kerangka penting dalam memperbaiki dampak aktivitas pembangunan.
"Ini kerangka pemulihan sosial dan lingkungan untuk memperbaiki dampak akibat pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam," jelasnya.
Ia menegaskan pendekatan ini tidak sekadar soal penghijauan.
"Pendekatan remediasi menekankan pemulihan ekosistem, penyelesaian konflik tenurial, perlindungan masyarakat, serta keberlanjutan habitat satwa," kata Soeryo.
Tantangan terbesar program remediasi berada di wilayah masyarakat adat. Hal ini disampaikan Mahir Takaka dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
"Tingkat pemahaman masyarakat adat masih beragam. Sepuluh desa ini adalah kekayaan besar Riau," ujar Mahir.
Namun, ia juga menyoroti perubahan bentang alam.
"Hutan yang dulu lebat, sekarang berganti menjadi sawit," ungkapnya.
Di luar persoalan ekologis, konflik sosial juga muncul.
"Pemilihan kepala desa bisa menimbulkan dualisme. Belum lagi konflik baru akibat investasi," kata Mahir.
Selama sepuluh bulan terakhir, PUG bersama masyarakat desa telah melakukan identifikasi masalah di sepuluh desa sebagai dasar penyusunan rekomendasi.
Mahir menjelaskan proses dialog dimulai dari penyamaan pemahaman mengenai remediasi.
"PUG menyiapkan kerangka acuan yang kemudian didiskusikan ulang di desa," ujarnya.
Setelah identifikasi, fasilitator bersama warga menyusun prioritas masalah hingga rekomendasi.
"Kami merumuskan usulan agar masalah tidak terulang, dan dibuatkan berita acara yang ditandatangani pemerintah desa dan fasilitator," kata Mahir.
Ia menegaskan peningkatan pengetahuan remediasi FSC sangat berdampak.
"Memberikan pengetahuan remediasi FSC itu luar biasa. Masyarakat bisa memahami dan mengambil peran," tutupnya.