PEKANBARU (RA) - Upaya menghadirkan pengelolaan hutan yang berkeadilan dan bertanggung jawab terus digulirkan di Riau. Hal itu mengemuka dalam Dialog Pemangku Kepentingan Implementasi Kebijakan FSC yang digelar di Pekanbaru, Rabu (3/12/2025).
Forum yang mempertemukan pemerintah daerah, akademisi, organisasi masyarakat adat, LSM, perusahaan dan perwakilan desa itu menjadi momentum penting untuk merumuskan langkah remediasi atas konflik sosial-lingkungan yang telah berlangsung puluhan tahun.
Direktur Patala Unggul Gesang (PUG), Nazir Foead, menegaskan bahwa proses remediasi Forest Stewardship Council (FSC) hanya dapat berjalan bila semua pihak bersedia saling memahami dan mengambil langkah kompromi.
"Pesan Menteri Kehutanan jelas: konflik bisa selesai kalau semua pihak mau melihat posisi masing-masing. Dalam remediasi, ada kalanya kita harus mundur satu dua langkah," ujar Nazir.
PUG Turun ke Desa-Desa Himpun Aspirasi
Nazir menjelaskan bahwa sejak Januari 2025, tim PUG telah turun langsung ke desa-desa di Kuansing, Pelalawan, Inhu, dan Siak untuk memperkenalkan konsep remediasi FSC.
Mereka tinggal berbulan-bulan di desa, mendengar langsung aspirasi masyarakat dan mengidentifikasi persoalan sosial-lingkungan.
"Perwakilan desa memaparkan apa yang mereka alami dan harapkan. Kami berharap perusahaan mau mendengar suara masyarakat," kata Nazir.
Nazir menegaskan bahwa kerangka remediasi FSC memberi kewajiban kepada perusahaan untuk memulihkan dampak lingkungan dan sosial pada masa lalu.
"Kalau hutan dibabat dan masyarakat kehilangan sumber daya, perusahaan harus memulihkannya," tegasnya.
Menurutnya, antusiasme masyarakat sangat tinggi. Warga dari unsur pemerintah desa, pemuka adat, tokoh perempuan hingga pemuda turut menyuarakan harapan mereka agar kerugian sosial dan ekologis benar-benar dipulihkan.
Direktur Utama April Group, Mulya Nauli, mengatakan bahwa remediasi sosial FSC yang tengah dijalankan di Riau merupakan program pertama di dunia.
"FSC Remedy Sosial ini pertama kali dilakukan di dunia. FSC sendiri masih mengembangkan kerangkanya. Tapi kita ingin maju dan menjadi contoh," kata Mulya.
Mulya menegaskan April Group akan menelaah seluruh aspirasi masyarakat. Bila ada aspirasi yang tidak termasuk dalam kerangka remediasi, tetap akan ditindaklanjuti melalui kanal keluhan resmi perusahaan.
"Beberapa desa menganggap program CSR tidak transparan. Ini akan kami evaluasi. Rembuk desa sudah dilakukan, tapi mungkin tidak semua desa mengetahuinya. Itu kekurangan kami," ujar Mulya.
Dari Desa Talang Pring Jaya, Inhu, Batin Tarmili (52) menyampaikan harapan besar agar remediasi benar-benar menyentuh akar persoalan.
"Kami dulu berladang berpindah. Sekarang sudah tidak bisa. Itu yang harus dikembalikan kepada kami," ujarnya.
Guru Besar Ekologi Manusia IPB, Suryo Adiwibowo, menambahkan bahwa penerapan Remedy Framework di Riau merupakan momentum bersejarah.
"Kesediaan perusahaan menerapkan remediasi adalah lompatan besar. Ini kesempatan langka untuk memperbaiki hubungan masyarakat dan lingkungan," jelasnya.
Representatif FSC Indonesia, Hartono Prabowo, melalui pernyataan yang dibacakan Mahir Takaka, menegaskan bahwa remediasi mendorong perusahaan kehutanan lebih bertanggung jawab terhadap isu sosial dan lingkungan.
"Program remediasi bukan kembali ke masa lalu, tetapi memperbaiki kerusakan demi masa depan yang lebih baik untuk semua," ujarnya.
Ia juga mengapresiasi peran PUG dan fasilitator desa yang lima bulan penuh menghimpun aspirasi masyarakat.
Pertemuan itu disebut sebagai langkah krusial menuju pembentukan Core Dialogue Group, kelompok dialog inti yang menjadi syarat resmi program remediasi FSC.
Asisten II Setdaprov Riau, Helmi D mewakili Plt Gubernur SF Haryanto menyebut remediasi FSC sebagai upaya menghadirkan keadilan ekologis, sosial, dan ekonomi.
"Dampaknya menyentuh akses masyarakat terhadap air bersih, pangan, sampai konflik ruang yang memecah komunitas desa," ujarnya.
Sekda Inhu, Zulfahmi Adrian, menyebut pihaknya berkomitmen menyelesaikan persoalan desa-desa terdampak, seperti Talang Durian Cacar dan Talang Pringjaya.
Wabup Kuansing, Mukhlisin, menyoroti luasnya HTI di Kuansing mencapai 86 ribu hektare yang berbatasan langsung dengan desa.
Kabag Hukum Siak, Asrafli, menegaskan dominasi kawasan hutan dan HGU membuat ruang gerak masyarakat semakin terbatas.
Bupati Pelalawan, Zukri, menekankan pentingnya industri yang bertanggung jawab.
"Industri dibutuhkan, tapi industri yang baik. Remediasi harus memberi dampak besar bagi rakyat," katanya.
