Riauaktual.com - Aktivitas Gunung Agung dalam pemantauan visual yang dilakukan Minggu (3/12) sejak pukul 12.00 hingga 18.00 WIT tidak terlihat karena tertutup kabut.
Selebihnya, gunung tertinggi di Pulau Bali itu tampak tenang dibanding dari sebelumnya.
Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunungapi Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana mengatakan, kondisi tersebut dapat merefleksikan setidaknya dua kemungkinan.
Pertama, laju magma yang naik ke permukaan melemah karena kehilangan energi akibat gas magmatik yang semakin berkurang pasca erupsi kemarin dan pada akhirnya habis, menuju kesetimbangannya (equilibrium).
“Sedangkan kemungkinan kedua adalah terjadi penyumbatan pada pipa magma, dimana fluida magma yang bergerak ke permukaan terhalang oleh lava di permukaan yang mendingin dan mengeras,” bebernya.
Devy menyatakan, jika kemungkinan pertama yang terjadi, maka potensi erupsi akan berkurang karena magma kehilangan mobilitasnya.
Bahkan, erupsi-erupsi selanjutnya bisa jadi tidak teramati lagi dalam waktu dekat sampai magma baru suatu saat nanti lahir lagi.
Namun, jika kemungkinan kedua yang terjadi, maka potensi terjadinya erupsi akan meningkat karena akumulasi tekanan magma bertambah.
“Pada waktu tertentu, ketika lava yang menutupi keluarnya magma tadi kekuatannya lebih rendah dari tekanan yang diakumulasi di bawahnya, maka erupsi dapat terjadi,” wantinya.
Lebih lanjut Devy menjelaskan, jika kemungkinan kedua yang terjadi, maka akan ada dua kemungkinan lain yang menyusul.
Pertama, jika masa tenangnya lama, maka kemungkinan akumulasi tekanannya semakin besar.
“Erupsi memungkinkan terjadi lebih eksplosif dari erupsi beberapa hari yang lalu,” katanya.
Sebagai pembanding, pada erupsi Gunung Agung tahun 1963 silam, terdapat fase istirahat sekitar 2 minggu sebelum terjadinya erupsi utama yang mencapai ketinggian sekitar 23 kilometer.
Namun jika masa tenangnya pendek, maka kemungkinan akumulasi tekanannya tidak besar.
“Erupsi memungkinkan untuk terjadi dengan dengan eksplosivitas mirip erupsi kemarin atau lebih rendah dari pada erupsi utama tahun 1963,” jelasnya.
Devy menegaskan, karena kompleksitas yang dimiliki oleh gunung api, sains vulkanologi hingga saat ini belum bisa di dekati dengan metode deterministik (yang pasti-pasti, Red).
Vulkanologi adalah sains yang didekati metode probabilistik (yang mungkin-mungkin, Red), dimana unsur ketidakpastian harus selalu dimasukkan.
Masyarakat, lanjutnya, perlu bersabar menunggu perkembangan data sehingga benar-benar bisa melihat indikasi yang lebih jelas kemana Gunung Agung memilih jalan.
Lebih daripada itu, tekan dia, masyarakat tetap tidak boleh lengah dan harus selalu siap siaga dengan segala kemungkinan.
“Mudah-mudahan Gunung Agung memilih jalan yang kita harapkan, yaitu kemungkinan pertama, erupsinya selesai. Supaya masyarakat bisa segera pulang dari pengungsian dan kembali beraktivitas normal,” harap Devy.
Untuk diketahui, hingga pukul 18.00 WIT, kegempaan tercatat 2 kali amplitude 3–5 mm dengan durasi 32–40 detik.
Gempa low frekuensi 1 kali dengan amplitudo 5 mm durasi 36 detik, vulkanik dangkal 1 kali amplitude 4 mm durasi 7 detik.
Sedangkan gempa vulkanik dalam 1 kali amplitude 4 mm durasi 9 detik, tektonik lokal 1 kali amplitude 9 mm durasi 41 detik, dan tremor menerus amplitude 1–4 mm dominan 1 mm.