Riauaktual.com - Konflik rasial yang sedang melanda Sri Lanka, membuat Muslim di sana ketakutan untuk melaksanakan Salat Jumat. Mereka khawatir kelompok umat Budha di Sinhala akan menyerang mereka saat beribadah. Tak ada jaminan keamanan bagi mereka melihat kondisi pihak kepolisian di sana yang lambat merespons.
Pemberlakuan jam malam juga tak mengurangi ketegangan antara dua kelompok agama di pusat Kota Kandy. Bahkan kekhawatiran akan adanya serangan lagi masih menghantui warga yang tinggal di salah satu pusat kota utama di Sri Lanka.
"Saya hidup dalam ketakutan dan tidak dapat tidur sepanjang malam karena semua orang dari keluarga saya telah pergi untuk melindungi diri dan kita ditinggalkan di rumah," ujar Fathima Rizka (25), seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat (9/3).
Ia mengatakan tak ada Polisi yang mencoba menghalangi, "Mereka hanya berdiri sementara serangan terus dilakukan. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," katanya.
Jalan-jalan kota nampak kosong, hanya ada polisi dan tentara yang berjaga. Kekerasan terjadi sebagian besar terjadi di wilayah perbukitan.
Rizka mendengar kabar akan adanya penyerangan Muslim yang melakukan ibadah Salat Jumat di Kandy. Mendengar ini, sejumlah orang membuat keputusan darurat membagi waktu pelaksanaan ibadah Salat Jumat secara bergantian.
"Pengaturan khusus dibuat untuk memastikan bahwa ada orang-orang yang tetap menjalankan kewajibannya, namun di waktu yang sama perempuan dan anak-anak tidak ditinggalkan sendirian di rumah mereka," katanya.
Kekerasan komunal ini bermula ketika seorang pria dari mayoritas umat Budha Sinhala dipukuli hingga tewas oleh pria Muslim karena kecelakaan lalu lintas, di kota Teledeniya di Kandy pada Minggu lalu.
Keesokan harinya, ratusan umat Buddha Sinhala berkumpul di distrik tersebut dan menyerang puluhan toko milik umat Muslim, rumah dan masjid, sebagian rusak terbakar.
Sejak kekerasan meletus, banyak pihak yang menyalahkan pihak keamanan Sri Lanka yang dianggap lamban menangkap pelaku penyerangan.
"Pemerintah mengatakan bahwa mereka akan mengambil sikap bagi pelaku penyerangan, namun kenyataannya adalah bahwa umat Islam tidak merasa dilindungi. Kami merasa ada seseorang berpengaruh yang melindungi mereka, " ujar pria bernama Mohamed (58) yang tak ingin nama keluarganya tidak dipublikasikan karena alasan keamanan.
Pemerintah telah menangguhkan layanan internet di wilayah tersebut dan memblokir akses ke Facebook dan media sosial lainnya, termasuk layanan Whatsapp dan Viber. Sebagai upaya menghentikan penyebaran rumor palsu yang mengakibatkan perpecahan.
Kekerasan agama bukanlah hal baru bagi negara kepulauan di Asia Selatan yang berpenduduk 21 juta jiwa itu. Kampanye anti-Muslim diluncurkan oleh umat Buddha garis keras menyusul kerusuhan mematikan di Aluthgama pada bulan Juni 2014.
Presiden Maithripala Siresena telah berjanji untuk menyelidiki kejahatan anti-Muslim setelah mengambil alih kekuasaan pada tahun 2015, namun tidak ada kemajuan signifikan yang dilaporkan sejauh ini.
Sumber : merdeka.com