Current Date: Selasa, 23 Desember 2025

Bungaran Saragih: Sawit Tidak Seharusnya jadi Kambing Hitam dari Bencana Sumatera

Bungaran Saragih: Sawit Tidak Seharusnya jadi Kambing Hitam dari Bencana Sumatera
Prof Bungaran Saragih

JAKARTA (RA) - Polemik seputar penyebab banjir bandang dan longsor di sejumlah wilayah Sumatera kembali menyeret perkebunan kelapa sawit sebagai tertuduh utama. Di ruang publik, sawit dijadikan kambing hitam, seolah-olah menjadi faktor tunggal pemicu bencana.

Namun narasi tersebut dinilai tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Material yang terbawa arus banjir dari kawasan pegunungan justru didominasi kayu-kayu gelondongan hasil pembalakan liar, bukan pohon sawit.

Kerusakan hutan akibat penebangan tanpa izin dinilai lebih berperan dalam memperburuk kondisi daerah aliran sungai.

Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Prof Bungaran Saragih, turut angkat suara menanggapi isu ini. Ia menekankan bahwa pembahasan soal bencana alam tidak bisa disederhanakan dengan sekadar menyalahkan satu komoditas.

"Bencana alam bukan soal sawit atau bukan sawit. Ini persoalan keselamatan manusia, tata kelola lingkungan, dan keberlanjutan ekonomi," ujar Bungaran, Senin (22/12/2025).

Menteri Pertanian dan Kehutanan pada Kabinet Gotong Royong (2000-2004) itu menilai narasi saling menyalahkan justru menjauhkan publik dari akar masalah yang sebenarnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, frekuensi banjir bandang dan longsor meningkat di berbagai daerah, menimbulkan korban jiwa, kerugian ekonomi, dan dampak sosial yang tidak kecil.

Di sisi lain, sektor sawit kembali menghadapi tekanan opini, baik dari dalam negeri maupun internasional. Padahal, hingga kini industri sawit masih menjadi penopang ekonomi nasional, menyerap jutaan tenaga kerja dan menghidupi desa-desa di berbagai daerah. Devisa negara dari ekspor sawit pun berperan signifikan.

"Tidak banyak sektor yang punya daya ungkit ekonomi sebesar ini," kata Bungaran.

Menurutnya, perdebatan soal sawit sering kali berjalan tanpa pijakan data. Ada yang menyalahkan sawit sebagai biang keladi banjir, ada pula yang menolak segala bentuk kritik. Keduanya dinilai keliru jika tidak ditopang penelitian ilmiah.

Bungaran menegaskan perlunya data spasial, kajian hidrologi, dan analisis independen untuk memastikan hubungan antara tata kelola lahan dan potensi bencana. Tanpa itu, perdebatan yang terjadi hanya akan menjadi wacana tanpa solusi.

Selain itu, persoalan tata kelola lahan menjadi poin krusial. Risiko banjir tidak hanya dipengaruhi jenis tanaman, tetapi lebih ditentukan bagaimana lahan dikelola.

Perlindungan kawasan hulu, keberadaan daerah resapan air, hingga kepatuhan terhadap aturan sempadan sungai menjadi parameter yang harus diperhatikan.

"Apakah kawasan lindung dijaga? Apakah drainase alami tidak rusak? Itu yang seharusnya ditanyakan," ujarnya.

Ia menekankan pentingnya sinkronisasi kebijakan lintas sektor, mulai dari penataan ruang, perizinan, penegakan hukum, hingga standar keberlanjutan. Tanpa sinergi, upaya mengurangi risiko bencana akan berjalan timpang.

Bungaran juga mendorong kolaborasi multipihak. Pemerintah perlu hadir dengan regulasi yang tegas, pelaku usaha wajib menerapkan praktik budidaya berkelanjutan, sementara akademisi, masyarakat sipil, dan media berperan memastikan diskursus tetap berbasis data.

"Sawit tidak seharusnya dijadikan kambing hitam bencana," tegas Bungaran.

Dia meyakini, dengan tata kelola yang transparan dan berkelanjutan, industri sawit bukan hanya mampu mengurangi risiko bencana, tetapi juga menjadi bagian dari solusi pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Follow WhatsApp Channel RiauAktual untuk update berita terbaru setiap hari
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Sawit

Index

Berita Lainnya

Index