Fakta Tersembunyi di Balik Wacana Harga Rokok Jadi Rp 50.000/Bungkus

Fakta Tersembunyi di Balik Wacana Harga Rokok Jadi Rp 50.000/Bungkus
Ilustrasi Rokok
EKONOMI (RA) - Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus. Wacana ini berhembus dari hasil penelitian yang dilakukan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany.
 
Merdeka.com - Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus. Wacana ini berhembus dari hasil penelitian yang dilakukan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany.
 
1.Wacana rokok jadi Rp 50.000 pesanan asing
 
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menuding isu maupun wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus adalah pesanan pihak asing. Wacana ini bermula dari penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang menyatakan harga rokok naik Rp 50.000 per bungkus paling efektif mengurangi jumlah perokok.
 
Ketua Umum APTI, Soeseno Riban menuding, penelitian ini dibiayai oleh Bloomberg Initiative untuk menghancurkan industri tembakau Indonesia.
 
"Mereka rela mengorbankan kehidupan 6,1 juta masyarakat Indonesia demi menjalankan misi LSM Asing, Bloomberg. Hanya karena Prof. Hasbullah (pimpinan pusat kajian tersebut) mengejar dana penelitian sebesar Rp 4,3 miliar, dia merusak hajat hidup jutaan petani yang menggantungkan penghidupannya pada sektor ini," ucap Soeseno dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (25/8).
 
2.Anggota DPR ikut curiga ada kepentingan asing
 
Anggota Komisi II DPR dari PDIP, Arteria Dahlan mengatakan pemerintah harus mengakui industri rokok cukup berperan besar menopang perekonomian Indonesia. Industri rokok bisa gulung tikar jika harga rokok dinaikkan.
 
Arteria juga tak sepakat dengan asumsi kenaikan harga bisa menekan angka perokok di Indonesia. Sebab, industri rokok Indonesia sudah diakui dunia dan membantu perekonomian masyarakat daerah sekitar.
 
"Tidak dapat saya terima kalau tujuannya untuk mengurangi jumlah perokok lalu upaya aksinya adalah menaikkan harga rokok, bahkan kebijakan itu sangat tidak tepat sasaran dan jauh dari tujuan bahkan justru akan berdampak luas bagi perekonomian masyarakat Indonesia," tegasnya.
 
Justru dia khawatir ada kepentingan pihak asing di balik wacana ini dan bukan kepentingan dari pemerintah. Arteria menyebut industri rokok Indonesia sudah cukup mandiri dan kompetitif, sehingga kebijakan ini bisa menjadi alat agar mampu bersaing.
 
"Saya khawatir kebijakan ini bukan kebijakan murni pemerintah, akan tetapi ditunggangi oleh kepentingan asing yangg erat kaitannya dengan kompetisi perdagangan global. Harus diakui, saat ini industri rokok kita cukup mandiri dan mampu bersaing, kerap kali produsen asing kesulitan berkompetisi dengan produsen rokok kita," tutupnya.
 
3.Tengkulak tekan petani tembakau
 
Asosiasi Persatuan Tembakau Indonesia (APTI) menyesalkan kemunculan isu penaikan harga rokok hingga Rp 50.000 per bungkus. Sebab, hal tersebut menjatuhkan harga tembakau petani.
 
"Kami menyesal dengan kebijakan ini, isu ini dimanfaatkan oleh para tengkulak, harga tembakau di Madura yang tadinya Rp 28 ribu menjadi Rp 20 ribu," ujar Ketua APTI Soeseno Riban, saat Konferensi Industri Hasil Tembakau Nasional: Meluruskan Polemik Kenaikan Harga Rokok, Jakarta, Kamis (25/8).
 
Awalnya,kata Soeseno, isu penaikan harga rokok tersebut belum sampai ke telinga petani. Namun, isu kemudian diembuskan oleh para tengkulak sambil disertai cerita bahwa penaikan harga rokok bakal membuat mengurangi pembelian tembakau.
 
"Setelah tengkulak cerita, saya ditelpon oleh petani di Madura, 'Pak harga rokok naik ya pak?'. Sehabis itu kami langsung bertindak," ujar Soeseno.
 
Dia memastikan bahwa isu penaikan harga rokok tidak hanya meresahkan petani tembakau. Tetapi juga 6,1 juta orang terkait industri rokok.
 
4.Rokok naik tak berdampak positif pada kesehatan
 
Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Hasan Aoni Aziz menyesalkan wacana kenaikan harga rokok di Indonesia menjadi Rp 50.000 per bungkus. Menurutnya, cara ini tidak akan berdampak positif pada dunia kesehatan Tanah Air.
 
Hasan menjelaskan, dengan tingginya harga rokok akan mendorong masyarakat mengonsumsi rokok ilegal. Hal ini dipercaya lebih berbahaya dibanding rokok yang ada saat ini.
 
"Pada saat harga rokok naik, rokok ilegal jadi semakin marak. Hal ini juga bertentangan dengan semangat kelompok kesehatan, sebab rokok ilegal tidak melalui proses yang tidak sesuai," ujarnya di Jakarta, Kamis (25/8).
 
Ketua Umum Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Dahlan Said mengatakan, riset yang dilakukan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang menyatakan harga rokok naik Rp 50.000 paling efektif mengurangi jumlah perokok sangat tendensius.
 
Riset ini hanya memikirkan aspek kesehatan saja, dan tidak memikirkan nasib petani dan tenaga kerja di sektor ini. Dia menyebut, produksi cengkeh di Indonesia saat ini sekitar 100 ribu sampai 110 ribu ton per tahun, dan 94 persen diserap oleh industri rokok.
 
5.Menteri Yohana sebut kriminalitas meningkat
 
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembesi menilai, kenaikan harga rokok bukan langkah efektif untuk mengurangi jumlah perokok, terutama anak-anak. Justru, kenaikan itu memicu angka kriminalitas meningkat.
 
"Demi dapat sebatang rokok, bukan tidak mungkin seseorang melakukan tindak kekerasan, seperti pencurian atau perampokan," ungkap Yohana di Palembang, Kamis (25/8).
 
Selain itu, kata dia, pedagang akan menyiasati perdagangan rokok menjualnya secara eceran sehingga bisa perokok masih tetap merokok. Menurut dia, rokok diibaratkan seperti narkoba sehingga meski harganya mahal tidak akan berpengaruh besar.
 
"Walaupun harga narkoba mahal, tapi masih bisa dibeli, apalagi rokok," ujarnya.
 
Dibanding menaikkan harga rokok, Yohana menyarankan agar pemerintah membatasi penjualan rokok. Konkretnya, rokok hanya dapat dibeli di toko-toko tertentu dan pembelinya harus menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP).
 
"Selama ini kan rokok mudah dibeli di warung manapun, jadi anak-anak bebas membelinya. Nah, inilah yang harus diantisipasi, caranya begitu," pungkasnya.(merdeka.com)

Berita Lainnya

index