Angka-angka Fantastis di balik Fakta Konsumsi Rokok Rakyat Indonesia

Angka-angka Fantastis di balik Fakta Konsumsi Rokok Rakyat Indonesia
Ilustrasi
EKONOMI (RA) - Beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia disuguhkan oleh sejumlah kabar harga rokok akan menjadi Rp 50.000 per bungkus. Adalah Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, menghembuskan harga rokok idealnya lebih dari Rp 50.000 per bungkus. Ini jika ingin menekan jumlah perokok di Tanah Air.
 
Dalam survei yang dilakukan Deutsch Bank pada 2015 lalu, Australia menjadi negara dengan harga rokok termahal di dunia. Harga rokok di Negeri Kanguru ini mencapai USD 24,58 atau setara dengan Rp 325.000 per bungkus. 
 
Meski demikian, pemerintah Australia masih berencana menaikkan harga rokoknya menjadi USD 40 atau Rp 530.000 per bungkus pada 2020 mendatang. Sementara, Indonesia menempati urutan ke-20 bersama Rusia.
 
Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri menyebut rokok menjadi salah satu barang konsumsi terbesar masyarakat Indonesia setelah makanan dan minuman. Tingkat konsumsi yang dibalut dengan besarnya jumlah penduduk membuat perkembangan industri rokok cukup fantastis.
 
Berikut merdeka.com akan merangkum sejumlah fakta industri rokok di Indonesia dalam angka.
 
1.Dari industri tembakau, 6,1 juta tenaga kerja terserap
 
Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menambahkan sektor pertembakauan dari mulai budidaya, pengolahan produksi, tata niaga, distribusi, dan pembangunan industri hasil tembakaunya mempunyai peran penting dalam menggerakkan ekonomi nasional dan mempunyai multiplier effect yang sangat luas.
 
"Fakta bahwa industri tembakau merupakan industri padat karya yang menyerap jumlah tenaga kerja lebih dari 6,1 juta dan menciptakan beberapa mata rantai industri yang dikelola oleh rakyat (pertanian, perajangan, pembibitan, dan lain lain)," jelas dia.
 
2.Rokok diproyeksi beri pemasukan negara Rp 141,7 T tahun ini
 
Kementerian Keuangan mencatat penerimaan cukai rokok sebesar Rp 8,1 triliun pada dua bulan awal 2016. Ini lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 22,5 triliun.
 
"Itu sebenarnya normal, dalam dua bulan ini, itu juga sudah kami prediksi," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi.
 
Sementara, penerimaan cukai rokok pada APBN-P 2016 dipatok sebesar Rp 141,7 triliun. Angka ini lebih tinggi Rp 1,9 triliun dari target APBN 2016 sebesar Rp 139,8 triliun.
 
3.Kerugian negara akibat rokok capai USD 4,5 triliun
 
Kemenkes mencatat, Indonesia bakal rugi USD 4,5 triliun hingga 2030 akibat perokok. Direktur Jenderal (Dirjen) Gizi Masyarakat Kemenkes, Dodi Izwardi, memperkirakan, kerugian tersebut didapat jika beban penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, kanker, dan stroke tidak berkurang. 
 
"30 persen iuran BPJS disalurkan untuk penyakit tidak menular, terutama penyakit akibat rokok. Ini anggaran yang cukup besar. Karena penyakit akibat rokok ini sangat mahal, maka klaim dari BPJS akan lebih besar," imbuhnya.
 
4.Total belanja rokok capai Rp 605 M per hari atau Rp 217 T per tahun
 
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyebut masyarakat Indonesia bisa menghemat Rp 605 miliar bila para perokok tidak merokok satu hari saja.
 
"Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013 dan riset dari Pusat Data dan Informasi Kementerian kesehatan, jumlah penduduk usia di atas 10 tahun yang merokok 24,3 persen," kata Tulus.
 
Tulus mengatakan 24,3 persen itu setara dengan 48.400.322 jiwa. Bila rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari adalah 12 batang dan harga sebungkus rokok berisi 12 batang adalah Rp 12.500, maka pembelanjaan rokok setiap hari adalah Rp 605.004.150.000.
 
"Sehari saja masyarakat Indonesia tidak merokok akan menghemat Rp 605 miliar. Bila para perokok itu berhenti merokok, satu tahun bisa menghemat Rp 217 triliun," tuturnya.
 
5.30 Persen anak-anak Indonesia sudah merokok sebelum 10 tahun
 
Ketua Lentera Anak Lisda Sundari mengatakan Indonesia masuk kategori darurat bagi anak-anak pecandu rokok. Hal itu merujuk pada data terakhir, di mana 30 persen anak-anak sudah merokok bahkan sebelum berumur 10 tahun.
 
Dari data yang dihimpun Lentera Anak, jumlah perokok muda usia 10-14 tahun meningkat 2 kali lipat dalam 10 tahun. Dari 1,935 juta pada 2001 menjadi 3,967 juta pada 2010.
 
Prevalensi perokok muda usia 15-19 tahun meningkat 3 kali lipat dari 7 persen pada 1995 menjadi 20 persen pada 2010. Angka ini menunjukkan 1 dari 5 remaja usia 15-19 tahun sudah merokok. Sementara, lebih dari 30 persen anak-anak di Indonesia, merokok sebelum usia 10 tahun. (merdeka.com)
Follow WhatsApp Channel RiauAktual untuk update berita terbaru setiap hari
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index