EKONOMI (RA) - Pemerintah tengah merampungkan aturan holdingisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), salah satunya holding BUMN migas. Namun nyatanya, holding BUMN migas berubah nama dari yang sebelumnya holding BUMN energi. Dengan holding BUMN migas ini, Menteri BUMN Rini Soemarno ingin menjadikan PT Pertamina (Persero) sebagai induk usaha PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk melalui proses akuisisi.
Dalam pembukaan rapat terbatas (ratas) soal holdingisasi BUMN, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan, bahwa perusahaan pelat merah harus menjadi lokomotif penggerak perekonomian nasional. Holding BUMN kata Jokowi juga harus dilandasi roadmap atau peta jalan yang jelas, sebagai pondasi mewujudkan BUMN sebagai perusahaan yang besar, kuat dan "Ini harus kita segera punyai," kata Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat 12 Jumat 2016. Jokowi pun membantah pembentukan holding BUMN ini bukan untuk menghilangkan BUMN. Menurut Jokowi holding BUMN cara pemerintah mengurangi penjatahan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada perusahaan-perusahaan pelat merah.
"Pembentukan holding BUMN ini justru kita ingin memperkuat BUMN sehingga BUMN bisa keluar kandang, bisa menjadi perusahaan kelas dunia," tambah Jokowi. Di sisi lain, rencana holding BUMN migas ini justru menimbulkan pro dan kontra. Ekonomi Senior Faisal Basri mengatakan, holding BUMN menjadi contoh kinerja Menteri BUMN Rini Soemarno yang tidak jelas arah tujuannya. "Jadi Bu Rini sangat tidak jelas konsepnya.
PGN kan go public, Pertamina tidak go public, tidak go public mengakuisisi yang go public. Nah ini konsepnya mau dibawa ke mana? Supaya apa? Tujuannya apa?," ujar Faisal di Gado-Gado Boplo, Jakarta, Sabtu 6 Agustus 2016. Analis di pasar market meminta agar holding BUMN energi tidak memberikan dampak yang negatif untuk market. "Market tidak ingin nanti setelah ada sentimen negatif di pasar modal, justru merembet ke sektor lain," jelas Analis Saham dari Indosurya, William Surya Wijaya.
Lebih jauh William meminta kepada Kementerian BUMN untuk mengupas lebih dalam soal aspek positif dari rencana akuisisi tersebut. Hal ini dipandang perlu karena pasar pun akan mengerti apa maksud dan tujuan akuisisi tersebut. Sementara, Analis Woori Korindo Securities, Reza Priyambada pun mengatakan, di tengah perlambatan ekonomi yang seperti sekarang, seharusnya pemerintah tidak hanya memikirkan akuisisi atau holding untuk kepentingan Kementerian BUMN belaka, melainkan harus memikirkan kepentingan korporat yang akan diakuisisi tersebut.
"Karena Pertamina ini kan belum perusahaan terbuka ya, kemudian juga PGN sejauh ini sahamnya baik-baik saja. Kita khawatir, langkah akuisisi ini akan jadi bumerang di pasar modal, sentimen negatif di mana-di mana meskipun dari sektor rillnya mereka bilang ini menguntungkan," tukasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun memiliki beberapa pandangan soal holding BUMN. Pada dasarnya, Ibu Ani sapaan akrabnya mendukung adanya holding BUMN di Indonesia, namun harus dilihat secara manfaat dan keuntungannya. "Jangan justru melindungi korporat yang sangat tidak efisien yang bahkan menyengsarakan banyak pihak.
Pada akhirnya, masyarakat harus menanggung beban korporasi yang tidak efisien, yang rugi terus, yang minta tambahan modal terus yang berdarah-darah terus," tegas Ibu Ani di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 24 Agustus 2016. Serikat Pekerja PT Perusahaan Gas Negara (PGN) menolak konsep holding migas yang digagas Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pasalnya holding migas tersebut dinilai hanya sebatas PT Pertamina mengakuisisi PGN. Ketua Umum Serikat Pekerja PGN M Rasyid Ridha mengungkapkan, akuisisi Pertamina terhadap PGN ujungnya hanya akan melemahkan atau mengerdilkan PGN, karena bisnis PGN dengan Pertamina merupakan bisnis yang saling menggantikan.
"Bila PGN di bawah Pertamina maka akan terjadi conflict of interest. Pertamina tentu tidak ingin bisnis minyaknya berkurang karena penyaluran gas PGN terus meluas," ungkap Rasyid, di Jakarta, Jumat 26 Agustus 2016. Sementara itu, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qasasi menilai dengan menghapus status salah satu BUMN timbulkan kesan menghindari audit BPK dan pengawasan DPR.
"DPR kan memandang bahwa jika holding migas yakni menjadikan Pertamina induk dan menghapuskan status BUMN PGN maka terkesan menghindari DPR dan audit keuangan BPK. Kalau ada apa-apa kan yang maju holding-nya, PGN nanti tidak punya kewajiban ke DPR maupun ke BPK," kata dia, Jakarta, Kamis 1 September 2016. (okezone.com)
Follow WhatsApp Channel RiauAktual untuk update berita terbaru setiap hari
