Antisipasi Konflik, DKP Riau Disarankan Atur Jadwal Tangkap Bagi Nelayan

Antisipasi Konflik, DKP Riau Disarankan Atur Jadwal Tangkap Bagi Nelayan
ilustrasi

SELATPANJANG (RA) - Konflik antar nelayan tradisional dengan nelayan jaring batu di Provinsi Riau mudah saja terjadi. Apalagi saat ini pengawasan dinilai kurang maksimal setelah kewenangan yang semula di kabupaten berpindah ke provinsi.

Seperti yang terjadi di perairan Bengkalis, Rabu (7/12) lalu. Kapal nelayan jaring batu asal Tebingtinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti dibakar nelayan rawai Desa Muntai, Bengkalis.

Konflik ini bermula ketika nelayan Tebingtinggi Barat menangkap ikan tidak sesuai ketentuan. Nelayan Muntai akhirnya menangkap dan membakar pompong nelayan Tebingtinggi Barat. Kemudian, kedua nelayan Tebingtinggi Barat ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar aturan, menangkap ikan di wilayah yang tidak diizinkan. Pembakar kapal nelayan masih di buru polisi.

Menanggapi konflik dan potensi konflik paska penarikan kewenangan pengawasan laut ke provinsi, Ketua Lembaga Kerukunan Antar Nelayan Pesisir Aziz, Kamis (15/12) mengatakan, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Riau harus cepat bertindak. Pemerintah diminta segera melakukan sosialisasi kepada masyarakat nelayan terkait bagaimana melengkapi administrasi kapal, sampai ke aturan menangkap ikan.

Kata Aziz, secara aturan di laut itu ada tiga kategori jalur. Dimana jalur A berjarak antara 0 hingga 2 mil dari bibir pantan diperuntukkan bagi nelayan tradisional. Jalur B berjarak antara 2 hingga 4 mil diperuntukkan bagi nelayan nasional, dan jalur C berjarak dari 6 hingga 12 mil untuk jalur internasional.

"Persoalannya, bagaimana pemerintah menentukan jalur-jalur itu, bagaimana menentukan titik itu," kata Aziz.

Menanggapi konflik yang sedang terjadi, Aziz menyarankan untuk jangka pendek ini memang DKP Riau harus melakukan pengawasan secara maksimal. Karena, Aziz menilai dengan penarikan wewenang ke provinsi ini berpotensi menimbulkan konflik baru.
"Bayangkan saja, sedang ada pengawasan di sini, banyak pelanggaran. Apalagi tidak ada wewenang pengawasan di tiap kabupaten," kata Aziz.

Kemudian, Aziz juga menyarankan agar DKP Riau membuat pengaturan jadwal tangkap bagi nelayan tradisional dan nelayan jaring batu. Pengaturan jadwal tangkap ini dianggap untuk mencari penyelesaian konflik antar nelayan yang sering terjadi.

"Pengaturan jadwal tangkap harus dibuat. Misalnya untuk nelayan jaring batu silahkan beroperasi di waktu malam dan nelayan tradisional pada siang hari. Kalau ada yang melanggar ketentuan, silahkan tempuh jalan penyelesaian, namun sebelum itu bicara dulu dengan semua pihak," katanya.

"Pemerintah juga harus buat aturan bahwa perairan di provinsi ini menjadi perairan Riau atau laut Riau. Jadi, nelayan manapun yang masih warga Riau boleh mencari rezeki dimana saja. Tidak ada laut Meranti, laut Bengkalis, dan sebagainya," tambah Aziz.

Kemudian, alternatif lain yang disarankan Aziz yaitu pemerintah harus menjadi mediator untuk nelayan jaring batu dengan kapal pompong ukuran kecil. Kumpulkan semua nelayan jaring batu itu, lalu bagi menjadi beberapa kelompok untuk kemudian diberi fasilitas kapal tangkap yang lebih besar seperti Inkamina. Nelayan yang sudah dibuat kelompoknya ini harus beroperasi di perairan luar wilayah Riau.

"Saya contohkan, di Alahair laut itu ada sekitar 40an nelayan jaring batu dengan pompong kecil. Kumpulkan nelayan ini lalu dorong mereka untuk melakukan penggabungan. Kita ada sekitar 6 atau 7 unit kapal besar Inkamina, biarkan mereka beroperasi di daerah luar. Untuk modal, biarlah nelayan itu patung-patungan, pemerintah hanya menyiapkan fasilitas kapal," jelas Aziz.
 

Follow WhatsApp Channel RiauAktual untuk update berita terbaru setiap hari
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index