Riauaktual.com - Meminjam barang merupakan hal wajar di dunia ini, sebab manusia satu sama lain saling membutuhkan. Namun, dalam pinjam meminjam barang mungkin saja terjadi kerusakan pada barang, baik disengaja maupun tidak.
Lantas, bagaiamana aturan mengembalikan barang yang dipinjam menurut Islam? Haruskan barang itu diganti atau dibiarkan saja kembali dalam keadaan rusak? Dan, bagaimana jika tidak sengaja?
Di zaman Rasulullah SAW pernah terjadi pinjam-meminjam barang antar istri-istri beliau. Meski pinjam-meminjam tersebut tidak disengaja.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pernah bercerita,
Suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di rumah salah satu istrinya (Aisyah). Tiba-tiba ada istri beliau yang lain (Zainab bintI Jahsy) menyuruh pembantunya mengirim sepiring makanan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melihat itu, Aisyah marah dan langsung memukul piring yang masih di tangan si pembantu, hingga pecah dan berserakan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan makanan yang berserakan, sambil mengatakan,
“Ibumu sedang cemburu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengganti dengan piring yang ada di rumah Aisyah, sementara piring yang pecah ditinggal. (HR. Ahmad : 12027, Bukhari 5225)
Belajar dari kejadian tersebut, Rasulullah SAW mengganti piring Zainab dengan piring yang ada di rumah Aisyah, meski pun Zainab tidak ada di tempat. Jadi ketika barang orang dirusak, maka wajib diganti. Lantas, bagaimana jika pemilik barang diam saja?
Diam bukan berarti pertanda pemilik ridha. Mengutip dari berbagai sumber, dasar yang dipakai adalah jika merusak barang orang maka harus bertanggung jawab, yaitu mengganti. Lain halnya jika pemilik menyatakan tak perlu diganti. Tertera sebuah penyataan.
Menurut pendapat Imam as-Syafii dalam al-Qoul al-Jadid, ketika ada orang yang merusak harta orang lain, sementara pemiliknya menyaksikan dan diam saja, maka diamnya tidak menunjukkan bahwa dia mengizinkan agar barangnya dirusak. Namun dia harus ganti rugi. (al-Wajiz fii Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 205).
Sumber : okezone
