Haramkah Daging Kurban yang Disimpan Lebih dari Tiga Hari? Ini Jawabannya

Haramkah Daging Kurban yang Disimpan Lebih dari Tiga Hari? Ini Jawabannya
foto : internet

Riauaktual.com - Ada salah satu hadis sahih yang menyebutkan bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam melarang menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari.
Haramkah dimakan jika lebih tiga hari?

"Siapa di antara kalian berkurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih
tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga." (HR. Bukhari)

Bagaimana kekuatan hadis tersebut? Dikutip dari Rumahfikih.com, Ustaz Ahmad
Sarwat, Lc, MA menjelaskan panjang lebar masalah ini.

Hadis tersebut diketahui sahih, namun para ulama umumnya sepakat mengatakan
bahwa kandungan hukumnya sudah dinasakh atau dihapuskan dengan adanya hadis
yang lain. Jadi jawaban atas pertanyaan ini mudah saja, bahwa larangan itu sifatnya
sementara saja, dan kemudian larangan itu pun dihapus.

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama atas dihapuskannya larangan ini,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar di dalam kitab Al-Istidzkar.

Memang di jalur riwayat dan versi yang lain disebutkan bahwa Ibnu Umar tidak mau
memakan daging hewan udhiyah, bila sudah disimpan selama tiga hari.

Dari Salim dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam melarang kamu memakan daging hewan udhiyah yang sudah tiga hari. Salim
berkata bahwa Ibnu Umar tidak memakan daging hewan udhiyah yang sudah tiga
hari. (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam Fathul Bari mengutip penjelasan Asy-Syafi’i,
beliau menyebutkan bahwa kemungkinan Ibnu Umar belum menerima hadis yang
menasakh larangan itu.

Dihapusnya larangan ini termasuk jenis nasakh atas sebagian hukum yang pernah
disyariatkan. Sebagaimana dihapuskannya larangan untuk berziarah kubur.

Memang kalau membaca potongan hadis di atas, seolah-olah kita dilarang untuk
menyimpan daging udhiyah lebih dari tiga hari.

Tetapi kalau lebih teliti, sebenarnya hadis di atas masih ada terusannya, dan tidak
boleh dipahami sepotong-sepotong. Terusan dari hadits di atas adalah, "
Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah,
apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab,
”(Adapun sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain
dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik
sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.”(HR.
Bukhari)

Jadi semakin jelas bahwa ‘illat kenapa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada tahun
sebelumnya melarang umat Islam menyimpan daging hewan udhiyah lebih dari tiga
hari. Ternyata saat itu terjadi paceklik dan kelaparan dimana-mana. Beliau ingin para
shahabat berbagi daging itu dengan orang-orang, maka beliau melarang mereka
menyimpan daging, maksudnya agar daging-daging itu segera didistribusikan kepada
orang-orang yang membutuhkan.

Tetapi ketika tahun berikutnya mereka menyimpan daging lebih dari tiga hari,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membolehkan. Karena tidak ada paceklik yang mengharuskan mereka berbagi daging.

Dalam hadits di atas juga dikuatkan dengan hadits lainnya, “Dulu aku melarang kalian dari menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari agar orang yang memiliki kecukupan memberi keluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun sekarang, makanlah semau kalian, berilah makan, dan simpanlah.” (HR. Tirmizi)

Larangan Tidak Berpengaruh pada Penyembelihan

Selain itu yang perlu juga dipahami bahwa kalau Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang menyimpan lebih dari tiga hari, bukan berarti daging itu menjadi haram, juga bukan berarti penyembeliahnya menjadi tidak sah. Sebab ritual ibadah udhiyah ini intinya justru pada penyembelihannya, dan bukan pada bagaimana cara dan waktu memakan dagingnya.

Ekstremnya, bila seseorang telah melakukan penyembelihan dengan benar, sesuai
dengan syarat dan ketentuannya, maka ibadahnya telah sah dan diterima Allah subhanahu wata'ala secara hukum fikih. Ada pun urusan mau diapakan dagingnya, tidak ada kaitannya dengan sah atau tidak sahnya penyembelihan.

Dahulu di Mina, tepatnya di tempat penyembelihan hewan (manhar), ada ribuan
hewan ternak yang disembelih di Hari Raya Idul Adha, lalu dibiarkan begitu saja
tubuh-tubuh hewan itu, tidak dimakan dan tidak pula diurus oleh panitia macam di
negara kita. Lalu tubuh-tubuh hewan itu pun membusuk, sebagiannya dimakan
hewan-hewan pemakan bangkai. Dan sebagiannya mengering atau terkubur di pasir
menjadi tanah dan debu.

Apakah ritual ibadah para jamaah haji itu sah? Jawabnya sah. Apakah diterima Allah?
Jawabnya tentu saja diterima. Lalu kenapa dagingnya ‘dibuang’ begitu saja?
Jawabnya karena yang menjadi titik pusat dari ritualnya hanya sebagai
penyembelihan, bukan bagaimana membagi daging itu kepada mustahik,
sebagaimana dalam syariat zakat.

Sunnahnya, daging itu dimakan sendiri sebagian, lalu sebagiannya dihadiahkan, dan
sebagian lainnya, disedekahkan kepada fakir miskin. Tetapi semua itu sunnah dan
bukan syarat sah. Berbeda dengan zakat, zakat harus disampaikan kepada para
mustahik dengan benar. Bila diserahkan kepada mereka yang bukan mustahik secara
sengaja dan lalai, maka zakat itu tidak sah hukumnya.

Daging hewan kurban, hukumnya boleh dimakan kapan saja, selagi masih sehat
untuk dimakan. Sekarang di masa modern ini, sebagian umat Islam sudah ada yang
mengkalengkan daging kurban ini, sehingga bisa bertahan dengan aman sampai tiga
tahun lamanya. Dan karena sudah dikalengkan, mudah sekali untuk
mendistribusikannya kemana pun di dunia ini, khususnya buat membantu saudara
kita yang kelaparan, entah karena perang atau bencana alam.

Walau pun afdhalnya tetap lebih diutamakan untuk orang-orang yang lebih dekat,
namun bukan berarti tidak boleh dikirim ke tempat yang jauh tapi lebih membutuhkan.

 

Sumber : rakyatku.coom

Follow WhatsApp Channel RiauAktual untuk update berita terbaru setiap hari
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index