Aturan PCR Untuk Penerbangan

Harga Tes Mahal, Ekonomi Dan Pariwisata Jadi Sulit Bangkit

Harga Tes Mahal, Ekonomi Dan Pariwisata Jadi Sulit Bangkit
Anggota Komisi VI DPR I Nyoman Parta. (Foto: Dok. DPR RI)

Riauaktual.com - Senayan masih menyoroti aturan wajib tes polymerase chain reaction (PCR) bagi penumpang pesawat di dalam negeri. Aturan ini dianggap mempersulit pariwisata dan ekonomi masyarakat untuk segera bangkit di masa menuju endemi Covid-19 ini.

Anggota Komisi VI DPR I Nyoman Parta mengatakan, saat ini pariwisata Bali mulai menggeliat setelah adanya peningkatan kedatangan wisatawan domestik ke Bali. Pada Kamis (21/10) ini saja jelang akhir pekan, jumlah penumpang domestik yang datang ke Bandara I Gusti Ngurah Rai sejumlah 9.637 orang.

“Tapi sekarang malah terjadi perubahan regulasi yang mempersulit penumpang domestik datang ke Bali. Awalnya penumpang dari dan ke Jawa-Bali boleh menggunakan tes antigen, sekarang berubah harus meng­gunakan test PCR,” keluh Parta dalam keterangan tertulisnya, sebagaimana dilansir dari RM.id.

Parta merujuk kebijakan Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021 tentang PPKM Level 3, 2, dan 1 di Jawa dan Bali dan juga Surat Edaran Nomor 21 Tahun 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri pada Masa Pandemi Covid-19. Pariwisata Pulau Dewata jadi sulit bangkit.

Padahal, lanjutnya, Bali sendiri saat ini sudah turun ke level 2 PPKM. Situasi dan kondisi lapangan juga sangat kondusif. “Lalu kenapa pemerintah pusat membuat kebijakan yang malah mempersulit,” heran politisi PDI Perjuangan daerah pemilihan Bali ini.

Karena itu, dia meminta agar dua kebijakan baru tersebut, yakni Inmendagri Nomor 53 Tahun 2021 dan surat edaran mengenai ketentuan perjalanan dalam negeri ini direvisi. “Kenapa ketika level PPKM dan kasus Covid sudah mulai melandai malah harus pakai hasil tes PCR,” tambah dia.

Anggota Komisi IX DPR Alifudin menganggap pemerintah tidak adil dalam membuat kebijakan wajib PCR untuk syarat penerbangan. Dia pun meminta agar aturan baru ini dikaji ulang mengingat harga tes PCR terlalu mahal dan tidak semua moda transportasi diberlakukan sama. Apalagi, masa berlaku swab PCR ini hanya 2×24 jam.

“Bukan karena dia orang kaya bisa naik pesawat. Dan juga bukan orang miskin naik transportasi darat, KRL, bus dan lainnya, tapi karena kebutuhan masyarakat dalam melakukan perjalanannya,” kata Alifudin.

Politisi PKS ini mengingatkan, aturan baru ini jelas memberatkan masyarakat terutama pelajar, mahasiswa dan orang tua. Sebagai contoh, saat orang tua melakukan perjalanan dalam rangka menjenguk anaknya di pondok pesantren, maka kesempatan sangat sempit. “Kalau orang tua jenguk anaknya di pesantren, yang terjadi mereka harus naik pesawat supaya cepat,” tambah dia.

Sementara itu, anggota DPR Netty Prasetiyani mengatakan, jika memang transportasi udara dianggap memiliki risiko lebih, harusnya ada kebijakan menurunkan harga tes PCR. Sebab yang terjadi saat ini, untuk tes PCR saja rata-rata mematok harga Rp 495 ribu.

“Prinsipnya jangan sampai membebani masyarakat, karena saat ini tes PCR masih tinggi. Dengan harga Rp 495 ribu saja, ini jauh lebih mahal ketimbang harga tiket ekonomi pesawat Jakarta-Surabaya,” katanya.

Kebijakan tes PCR penerbangan ini akan diterima masyarakat jika pemerintah memiliki solusi terkait pembiayaannya. “Jika pemerintah dapat menekan harga tes hingga di angka Rp 150 ribu, tentu akan sangat membantu masyarakat,” ungkapnya.

Terakhir, Netty meminta pemerintah agar jangan longgar dalam menegakkan disiplin prokes di mana pun. Masyarakat harus terus diingatkan agar memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.

“Ini yang secara ilmiah sudah terbukti mencegah penularan,” tambah dia. 

Berita Lainnya

index