Randai, Seni Tradisional Minangkabau yang Sarat Nilai Budaya dan Religi

Randai, Seni Tradisional Minangkabau yang Sarat Nilai Budaya dan Religi
Abdul Jamil Al Rasyid

SUMBAR (RA) — Randai adalah salah satu bentuk seni tradisional Minangkabau yang telah berkembang secara bertahap hingga menjadi kompleks seperti saat ini. Berawal dari pertunjukan sederhana, randai kini menjadi bagian integral dari budaya Minangkabau yang kaya akan nilai estetika, religi, dan sejarah.

Randai berasal dari seni bela diri Minangkabau, yaitu silek, yang awalnya digunakan sebagai teknik pertahanan diri. Gerakan silek menjadi dasar dari tari randai, dengan langkah-langkah melingkar yang dilakukan secara kolektif. Pada awalnya, randai tidak melibatkan nyanyian atau cerita, hanya gerakan yang berpola dari silek.

Namun, seiring waktu, randai berkembang dengan tambahan elemen pantun, dendang, dan cerita rakyat. Karya seperti "Bujang Sambilan" menjadi tonggak penting dalam transformasi randai dari sekadar gerakan silek menjadi seni pertunjukan. 

Transformasi ini juga dipengaruhi oleh agama Islam yang masuk ke Minangkabau. Randai yang awalnya berkembang di surau, tempat belajar agama, akhirnya menyerap unsur keislaman dalam setiap pertunjukannya.

Perkembangan randai tidak dapat dipisahkan dari pengaruh budaya luar. Salah satu pengaruh signifikan adalah tonil, seni drama dari Belanda yang dikenal pada masa penjajahan. Meski demikian, randai tetap mempertahankan identitas Minangkabau dengan unsur lokal seperti kaba (cerita rakyat), dendang, dan gurindam.

Dalam tradisi Minangkabau, silek bukan sekadar kemampuan bela diri, melainkan juga filosofi hidup. Orang yang pandai silek dianjurkan untuk rendah hati, sebagaimana falsafah "alam takambang jadi guru". Nilai ini tercermin dalam randai, yang tidak hanya menampilkan gerakan indah, tetapi juga menyampaikan pesan moral melalui cerita dan syair.

Randai dimainkan secara berkelompok, dengan satu atau beberapa pemeran utama yang menyampaikan cerita. Para pemain lainnya membentuk lingkaran di sekitar pemeran utama, menciptakan harmoni gerak dan suara. Lingkaran ini melambangkan kekompakan dan kebersamaan, nilai penting dalam budaya Minangkabau.

Unsur cerita dalam randai biasanya diambil dari kaba seperti "Cindua Mato," "Malin Deman," dan "Anggun Nan Tongga." Cerita ini tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik masyarakat melalui pesan moral dan kearifan lokal.

Salah satu ciri khas randai adalah penggunaan celana galembong, celana lebar yang menghasilkan bunyi khas saat ditepuk. Bunyi ini menambah dinamika pertunjukan, memberikan efek suara yang menyerupai deburan ombak. Kostum ini tetap digunakan hingga kini sebagai identitas randai.

Randai memiliki berbagai fungsi, mulai dari hiburan hingga pendidikan. Pertunjukan ini sering ditampilkan dalam acara adat seperti pernikahan, khitanan, akikah, serta upacara pewarisan gelar adat. Selain itu, randai juga dipentaskan dalam kegiatan formal seperti acara kepemudaan dan festival budaya.

Meski mayoritas pemain randai adalah laki-laki, perempuan juga dapat berpartisipasi, terutama sebagai pendendang atau pemeran dalam cerita. Hal ini mencerminkan inklusivitas seni randai yang memberikan ruang bagi semua kalangan untuk berkontribusi.

Sebagai salah satu kekayaan budaya Nusantara, randai perlu dilestarikan agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Randai tidak hanya menjadi identitas budaya Minangkabau tetapi juga jembatan untuk memahami nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang.

Konon, randai pertama kali dimainkan oleh masyarakat Pariangan, Tanah Datar, ketika berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut. Hingga kini, randai menjadi bagian dari pesta rakyat, terutama pada momen seperti Idul Fitri dan acara adat lainnya. Selain menjadi hiburan, randai juga menjadi ajang silaturahmi bagi masyarakat.

Randai adalah seni yang merefleksikan harmoni antara budaya, agama, dan nilai sosial. Dengan mengusung berbagai elemen seperti silek, kaba, dan dendang, randai menjadi simbol kebanggaan masyarakat Minangkabau. Tugas kita bersama adalah melestarikan seni ini agar tetap hidup dan relevan dalam kehidupan modern.

 

Penulis: Abdul Jamil Al Rasyid, mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau, Universitas Andalas, Padang Pariaman.

Berita Lainnya

index