Ketika Polisi Menjadi Jembatan Damai di Tengah Konflik Rokan Hilir

Ketika Polisi Menjadi Jembatan Damai di Tengah Konflik Rokan Hilir
Kapolres Rokan Hilir AKBP Isa Imam Syahroni saat press release yang digelar di Mapolres Rohil.

ROHIL (RA) - Pagi itu, udara Rokan Hilir masih lembab sisa hujan semalam. Namun suasana di Balai Jaya belum sepenuhnya tenang.

Sepekan terakhir, kawasan Rumbia I dan II (bekas lahan PT Gunung Mas Raya yang kini dikelola PT Ujung Tanjung Sejahtera (UTS)) dipenuhi kecemasan.

Bentrokan antara kelompok masyarakat pimpinan Wanton Siringo Ringo dengan pihak perusahaan sempat menimbulkan luka, bukan hanya secara fisik, tapi juga sosial.

Di tengah ketegangan itu, hadir sosok berseragam cokelat yang mencoba menjembatani dua dunia yang berbeda.

Kapolres Rokan Hilir, AKBP Isa Imam Syahroni, dengan pendekatan persuasif dan komunikasi terbuka, ia menginisiasi mediasi damai yang belakangan menjadi contoh nyata dari konsep "Polisi sebagai pengayom, bukan penghakim."

Bentrok yang terjadi pada 20 Oktober 2025 sempat menegangkan. Kelompok masyarakat yang merasa tidak dilibatkan dalam pengelolaan lahan mendatangi area perkebunan dan bersitegang dengan pihak keamanan perusahaan.

Akibatnya, tujuh orang warga mengalami luka-luka, sebagian harus dirawat di RS Awal Bros Bagan Batu.

"Secara hukum, masyarakat tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Tapi secara hukum juga, perusahaan tidak boleh menggunakan kekerasan," ujar AKBP Isa tegas, dalam press release yang digelar di Mapolres Rohil, Selasa (21/10/2025).

Ungkapan itu menggambarkan prinsip keseimbangan yang dipegangnya, yakni menegakkan hukum tanpa kehilangan sisi kemanusiaan.

Mediasi dimulai pukul 09.30 WIB di Balai Jaya dan berlangsung hingga malam. Bukan perkara mudah mempertemukan dua pihak yang sama-sama merasa benar.

Namun kehadiran berbagai pihak (Wakil Bupati Rohil Jhony Charles, jajaran Forkopimda, pihak PT Agrinas Palma Nusantara, serta tokoh masyarakat setempat) menciptakan ruang dialog yang lebih tenang.

AKBP Isa memilih jalur komunikasi langsung, duduk sejajar dengan perwakilan masyarakat. Tidak ada podium tinggi, tidak ada jarak.

"Kami bukan datang untuk mengadili, tapi untuk mencari titik temu," ucapnya dalam suasana yang kala itu masih penuh emosi.

Hasilnya, tujuh poin kesepakatan tercapai. Mulai dari kenaikan upah panen menjadi Rp350 per kilogram, pembagian armada angkut antara masyarakat dan vendor perusahaan, hingga jaminan pengobatan penuh bagi korban bentrok.

Bahkan, pengamanan dari luar daerah dikembalikan ke Pekanbaru, dan ke depan, rekrutmen satpam akan melibatkan warga tempatan dengan pelatihan resmi.

Kesepakatan ini menandai babak baru bagi masyarakat Balai Jaya.

Wakil Bupati Rohil, Jhony Charles, menyebut langkah cepat Kapolres sebagai bentuk kehadiran negara di tengah konflik sosial.

"Kami apresiasi inisiatif Kapolres Rohil yang sigap dan humanis. Hasil mediasi ini menjadi bukti bahwa damai bisa tercapai ketika aparat hadir sebagai penengah, bukan pemihak," ucap Jhony.

Jhony juga menekankan pentingnya perusahaan untuk melibatkan warga empat desa di sekitar areal 1.800 hektare KSO PT UTS. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat adalah kunci mencegah konflik berulang.

Bagi masyarakat, peristiwa ini bukan sekadar konflik ekonomi. Ada dimensi sosial dan emosional di dalamnya (tentang hak, pengakuan, dan keadilan). Sementara bagi aparat, tantangannya adalah menjaga hukum tanpa memantik luka baru.

Kapolres Isa memahami hal itu. Ia tahu, bentrokan bukan sekadar soal sawit, tapi soal rasa. Karena itu, ia menegaskan pentingnya transparansi dan komunikasi dua arah.

"Kami ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada aparat dan pemerintah. Damai itu bukan hasil dari paksaan, tapi dari keikhlasan kedua belah pihak," tegasnya.

Kasus ini memberi pelajaran berharga bahwa penegakan hukum bisa berjalan seiring dengan pendekatan sosial. Polisi bukan hanya bertugas menertibkan, tetapi juga menjadi mediator yang menghadirkan solusi.

Konsep ini sejalan dengan arah kebijakan Polri modern, yakni community policing yang berakar pada kepercayaan masyarakat.

Seperti yang dilakukan Polres Rohil, pendekatan humanis di tengah konflik terbukti lebih efektif daripada pendekatan koersif.

Kini, setelah mediasi berhasil dan perjanjian damai ditandatangani, situasi di Rumbia I dan II kembali kondusif.

Warga mulai bekerja lagi, perusahaan melanjutkan operasionalnya, dan pemerintah daerah menyiapkan langkah pengawasan agar kesepakatan tak hanya tinggal janji.

Di akhir pertemuan malam itu, AKBP Isa berdiri di depan para pihak. Ia tidak memberi pidato panjang, hanya satu kalimat pendek yang masih diingat banyak orang:

"Kita semua ini tinggal di tanah yang sama, makan dari bumi yang sama. Maka tidak ada alasan untuk saling melukai," ucapnya.

Kalimat sederhana, tapi sarat makna. Dari situ, terlihat bahwa damai bukan hanya hasil mediasi, melainkan juga keikhlasan untuk memulai kembali dari titik yang lebih baik.

"Dari Rumbia, kita belajar bahwa di tangan yang bijak, kita bisa menjadi warna perdamaian," tegas AKBP Isa.

#BENTROK #Rohil

Follow WhatsApp Channel RiauAktual untuk update berita terbaru setiap hari
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index