Riauaktual.com - Keputusan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) tak mengajukan banding atas vonis 15 tahun penjara di korupsi e-KTP dinilai sebagai bentuk ketakutan adanya kemungkinan semakin diperberatnya masa hukuman.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Hajar Fickar, menyebut kubu mantan Ketua Umum Partai Golkar itu khawatir akan bernasib sama seperti hasil banding dari terpidana dalam kasus e-KTP lainnya, yakni Irman, Sugiharto, dan Andi Narogong.
"Terdakwa merasa khawatir hukumannya di Pengadilan Tinggi jika mengajukan banding karena ada preseden terdakwa terdahulu justru ditambah," kata Fickar kepada Okezone, Jakarta, Rabu (2/5/2018).
Dalam kasus ini, Irman dan Sugiharto masing-masing tujuh dan lima tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Namun, Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman terhadap dua mantan pejabat Kemendagri tersebut.
Dalam putusan kasasi, kedua terdakwa korupsi proyek pengadaan e-KTP itu dihukum masing-masing 15 tahun penjara. Mereka juga masing-masing dijatuhkan pidana tambahan uang pengganti.
Hal yang sama juga menimpa Andi Agustinus alias Andi Narogong. Dia diperberat hukumannya menjadi 11 tahun penjara. Sebelumnya, dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Andi divonis delapan tahun penjara.
(Foto: Antara)
Di sisi lain, Fickar berpandangan, dengan Setnov tidak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi atas putusan tingkat pertama merupakan bentuk pengakuan seorang terdakwa dalam satu perkara.
"Terdakwa mengakui kesalahannya sehingga dia menerima putusan pengadilan negeri yang menghukumnya 15 tahun," tutur Fickar.
Selain itu, Fickar mengungkapkan, adanya upaya perlawanan lainnya dari seorang terdakwa yang divonis dalam tingkat pertama. Pasalnya, sambung dia, pihak Setnov bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.
"Strategi terdakwa untuk mengajukan upaya hukum luar biasa PK setelah putusan PN sudah mempunyai kejuatan hukum mengikat," ucap Fickar. (Wan)
Sumber: Okezone.com
