Riauaktual.com - Benar, profesi juru parkir bukan untuk cari kaya. Juga benar, profesi itu adalah bagian dari upaya pemerintah meningkatkan retribusi daerah.
Tapi apa benar, tetiba dunia perparkiran mendadak ramai. Modal spanduk biru berisi ayat-ayat peraturan pemerintah kota Pekanbaru, juru parkir dadakan memintai Rp2.000 sesuka dengkulnya.
Seperti yang saya temui pagi ini di sekitar jalan Kualau, Panam, Pekanbaru. Matahari masih malu keluar, eh si Fulan ini nangkring bermodal sempritan.
Tanpa seragam juru parkir, apalagi karcis, dengan muka sangar kumis ala Pak Raden dia menunjukkan spanduk biru yang terpasang itu.
"Bang, duo ribu kini bang," katanya.
Saya tau peraturan itu. Saya pun tak terlalu mempersoalkan. Wong nyatanya sudah keluar. Meskipun pejabat banyak yang kaget, saya tak mau jumawa ikut-ikutan kaget.
Yang saya persoalkan, si uwak ini tak ada seragam, karcis tak ada, tiba-tiba nongol entah dari mana rimbanya? Bagaimana pengawasannya?
Aji mumpung. Momen kenaikan parkir ini jadi aji mumpung bagi segelintir orang untuk menjajal profesi perparkiran ini. Modal spanduk, sempritan, tanpa seragam, apalagi karcis, hasilnya lumayan. Plus, lemahnya pengawasan.
Kebiasaan. Buat peraturan. Keluarkan. Implementasinya? Ya silahkan jalan sendiri.
Sekali lagi saya tidak menyalahkan profesi parkir. Profesi mulia. Di saat segelintir petugas yang dibayar negara lebih senang berada di balik meja di ruangan berpendingin udara, maka petugas parkirlah yang berterik panas demi selembar dua lembar recehan.
Akan tetapi, yang jadi persoalan adalah, pertanggungjawaban. Jangan asal bikin aturan, tanpa pengawasan. Lalu muncul sempritan 'siluman’.
Harga BBM saja engga jadi naik, kok ini duluan naik.
Dan, tiba-tiba ada yang ngaku kaget dengan kebijakan yang dikeluarkan.
Ada-ada saja.