Riauaktual.com - Dinamika perpolitikan nasional semakin bereskalasi. Pasca penetapan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) belum, analisis pun bermunculan. Sejumlah pengamat politik memprediksi perolehan suara dalam pertarungan Jokowi vs Prabowo kali ini akan berbeda dibanding Pilpres 2014 silam.
Di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) khususnya, Jokowi diprediksi masih akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan Prabowo.
Meski berhasil menguasai perolehan suara di Kalimantan di Pilpres 2014, tetapi Jokowi yang kala itu berpasangan dengan Jusuf Kalla dipecundangi pasangan Prabowo- Hatta Rajasa di Kalsel. Ketika itu, dari 13 kabupaten dan kota se Kalsel, Prabowo-Hatta mendapat 941.809 suara atau 50,05 persen.
Sementara pasangan Jokowi-Jusuf Kalla hanya mendapat 939.748 suara atau 49,95 persen. Meski relatif tipis, data ini cukup menggambarkan kesulitan sengitnya persaingan dua tokoh ini merebut suara rakyat Kalsel.
Bagaimana dengan Pilpres tahun 2019 mendatang? apakah Jokowi akan keteteran kembali di Kalsel? Muhammad Uhaib As’ad, Staf Pengajar Fisip dan S2 MAP Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad AlBanjary meyakini, Jokowi sulit menang di Kalsel.
Uhaib menjelaskan, secara teoritis, dunia politik adalah wilayah perebutan panggung kekuasaan. Dimana para aktor politik bertarung untuk menguasai panggung kekuasaan dengan berbagai macam cara dan strategi yang dimainkan.
Strategi di level pusat akan berbeda pilihan pada level daerah. Para gubernur, walikota dan bupati bisa saja berbeda pandangan dalam pilihan partai politik. Sehingga polarisasi dukungan Parpol dalam kepemimpinan nasional 2019 akan berimbas pada level daerah.
Di sini tidak akan berlaku teori politik loyalitas bagi penguasa daerah. “Misalnya saja, ada 9 Parpol koalisi yang mendukung pasangan Joko Widodo sementara ada beberapa penguasa daerah yang tidak masuk dalam partai koalisi tersebut. Ini yang perlu diperhatikan,” papar Uhaib kemarin.
Agenda Pemilihan Legislatif yang dibarengkan dengan pilpres sebutnya, dapat memecah konsentrasi parpol. Apakah Parpol akan fokus mendukung jago mereka, atau malah mengamankan suara parlemen.
Sementara, parpol sendiri begitu bernafsu merebut kursi parlemen untuk menguatkan pondasi mereka di legislatif. Uhaib semakin tak yakin Jokowi meraup suara terbanyak di tengah parpol lebih mempromosikan caleg mereka untuk mendongkrak dan meraup suara sah di Pileg.
Meski Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin sebagai vote getters, namun, simbol-simbol agama dan budaya sudah bergeser ke wilayah pragmatisme, terlebih lagi di era milenia demokrasi saat ini.
“Konsevatisme dan feodalisme atas nama simbol-simbol agama-kultural akan mengalami degradasi dan pelapukan di panggung altar demokrasi yang sarat permainan politik uang dan transaksional,” sebutnya.
Jokowi sendiri diusung dan didukung beberapa partai poltik (Parpol) yang sama-sama memiliki konstituen militan.Ada 9 koalisi parpol: PDI-P, PKB, Golkar, Perindo, NasDem, Hanura, PKPI, PSI, dan PPP. Sementara, lawannya Prabowo-Sandiaga diusung Partai Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS.
Uhaib mengatakan Ma’ruf Amin yang dipersepsikan sebagai simbol pluralisme dan simbol Islam Moderat, belum bisa dijadikan parameter dalam konteks demokrasi di Indonesia di tengah transisi demokrasi.
Justru, transisi demokrasi yang sedang berjalan saat ini melahirkan perilaku politik pragmatisme instant yang tidak terkendali.
“Panggung demokrasi telah terperangkap pada pusaran oligarki predator yang dikendalikan para pemilik modal dan elite parpol yang berlatar belakang pengusaha. Realitas ini akan mewarnai perjalanan demokrasi di negeri ini termasuk di Kalsel,” ujarnya.
Sementara, mitos politik identitas tidak lagi menjadi barang jualan yang memiliki daya magnitude politik. Saat ini sangat tergantung kekuaatan amunisi atau modal. Dia berpendapat, pertarungan dinamika politik di Kalsel menjadi hal yang menarik. Kekuatan kelompok Prabowo Subianto akan tampil menjadi kekuatan dominan.
“Tampilnya Sandiaga yang saat ini menjadi idola bagi pemilih milenia begitu dirindukan dan dibanggakan. Generasi milenia tentu tak ingin diajak kembali ke alam ‘jahilyah demokrasi’ dalam simbol-simbol feodalisme dan konservatisme,” tandasnya.
Isu SARA Tak Seganas Pilgub DKI Jakarta
Pertarungan di dunia maya selama pemilu diprediksi tidak akan banyak menyinggung isu-isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Isu yang selama ini dianggap bisa memicu perpecahan bangsa.
Keputusan Presiden Joko Widodo menggandeng Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin dianggap meredakan kemungkinan pemakaian isu SARA itu.
Direktur Eksekutif Saiful Munjani Research and Consulting (SMRC) Jayadi Hanan menuturkan kemungkinan isu yang akan diramaikan untuk menyerang petahana adalah masalah ekonomi. Sedangkan isu SARA terutama agama jadi tidak relevan lagi berkat kehadiran KH Ma’ruf.
”Agak sulit sekarang menyerang Jokowi dari sudut bahwa dia tidak memperhatikan Islam. Tidak mudah juga menyerang secara pribadi KH Ma’ruf,” kata dia kepada Jawa Pos (Grup Radar Banjarmasin/pojoksatu).
Sedangkan isu ekonomi berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Seperti harga sembako, biaya transport, soal lapangan pekerjaan, dan pengangguran. Selain itu juga isu korupsi juga bakal jadi bahan untuk mempengaruhi publik.
”Saya kira serangan sudut ekonomi tidak akan efektif kalau penantang (Prabowo-Sandi) hanya menyampaikan masalahnya apa. Tanpa memberikan alternatif kebijakan apa,” tambah dia.
Namun, bukan berarti isu SARA bakal betul-betul hilang. Menurut Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya pilihan cawapres dari kubu Prabowo dan Jokowi itu memang mengubah persepsi selama ini. Dulu koalisi umat hanya di Prabowo atau yang nasionalis hanya di Jokowi.
”Pilkada DKI tidak akan terjadi pada level seperti itu di 2019. Tapi apakah ini akan bersih dari isu SARA? Saya kira tidak,” kata Yunarto.
Perbincangan tentang kebijakan tetap bisa jadi akan dibungkus dalam politik primordial. Misalnya muncul istilah poros Makah dan poros Beijing yang sebelumnya tidak dikenal dalam perekonomian. Termasuk soal reklamasi yang dibahas bukan soal lingkungan hidup atau akses kemanfaatan tapi masalah dugaan kepentingan Tiongkok.
Sumber : pojoksatu.id
