Sinergi Demi Lestari, Membangun Kehidupan Harmonis Antara Gajah dan Manusia Dalam Lingkup Agroforestri

Sinergi Demi Lestari, Membangun Kehidupan Harmonis Antara Gajah dan Manusia Dalam Lingkup Agroforestri
Suparto, petani hutan Desa Pinggir menunjukkan salah satu bibit tanaman yang tidak disukai gajah. BIbit-bibit ini dikembangkan untuk program agroforestri binaan PT PHR (foto:Rinai)

Desa Pinggir, tahun 2019. 

Matahari semakin turun di sebelah barat, langit masih cukup terang namun bayang-bayang pepohonan semakin memanjang menimpa semak-semak pakis. Ditengah-tengah kepungan hutan, di sebidang lahan yang sudah dirapikan tangan manusia, berbaris pohon-pohon karet. Disela batang-batang kurus menjulang itu lah Suparto duduk sendirian. Disampingnya tergeletak pisau dengan ujung melengkung. 

Suara koakan burung malam yang baru terjaga jelang matahari terbenam mengalihkan perhatian Suparto. Ia berdiri, menengadah ke langit yang mulai berubah ungu dan kemerahan, lalu menatap ke dalam hutan di balik pohon-pohon karetnya, diantara belukar dan akar-akar yang berpilin menggantung di pepohonan tak bernama. Gelap semakin pekat, magrib hampir tiba.

Suparto teringat ucapan pemuda jangkung yang belakangan sering menemuinya di hutan. Pertemuan pertama mereka terjadi ketika Suparto sedang menyadap karet beberapa pekan lalu. Pemuda itu mendadak muncul di belakangnya, memakai pakaian yang sudah tak jelas lagi warnanya karena berhias lumpur. Pemuda itu kurus dan tampak letih, namun sorot matanya tajam. 

Pemuda itu bertanya tentang kawanan raksasa abu-abu yang sudah menghantui Suparto dan penduduk desa lainnya sejak puluhan tahun lalu.

"Mereka datang saat senja dan menetap hingga malam. Mencari makan," kata pemuda itu. 

Dentuman keras membuat Suparto terlonjak kaget, membuyarkan lamunannya. Suara geruan yang dalam dan nyaring membahana datang dari sisi hutan yang lain. Kalong dan burung-burung hutan beterbangan menambah riuh. Suparto memungut pisaunya lalu berlari ke arah suara yang membuat bulu kuduk meremang itu.

Jantungnya berdegup kencang. Suparto melesat berlari semakin cepat, kalimat pemuda asing itu terus menggema di kepala Suparto seperti kaset rusak.

"Apapun yang terjadi, jangan dibunuh, Pak!"

“Jangan dibunuh, jangan dilukai!”

Suparto melompat menerabas semak-semak dan tiba di lahan terbuka, mendekati belasan laki-laki penduduk desa yang tak mau repot-repot menoleh menyambut kedatangannya. Perhatian mereka semua tertuju ke depan, ke lima—enam—delapan raksasa! Raksasa-raksasa berwarna abu-abu pekat dan cokelat, besar dan tinggi menjulang, dua telinga lebar dan belalai yang terangkat mengancam, atau terancam?

“Gajah sialan!”

Beberapa penduduk desa yang membawa meriam bambu mulai membidik sasaran. Yang lain, masing-masing dengan senjata tajam masing-masing, menunjukkan raut wajah seolah siap berperang.

“Jangan!” seru Suparto.

“Kok, jangan? Dimakannya tanaman kita, Bang!” 

“Nanti mereka masuk lagi ke kampung kita! Habis sudah kebun-kebun.”

“Kalau ada anak kita yang terpijak gimana? Atau pagar dirusak, kedai, rumah…”

“Iya, iya,” Suparto menyela protes yang bersahut-sahutan itu. “Aku ‘kan juga rugi. Tapi, jangan dilukai.”

Suparto mengambil beberapa langkah ke depan, membuat corong dengan kedua tangan di depan mulutnya, lalu berteriak, mengeluarkan bunyi-bunyian yang diharapnya bisa menakuti gerombolan raksasa kelabu di hadapannya. 

Dua ekor gajah sedang melintas di jalurnya di dalam hutan (foto:doc RSF)

Petani dan penduduk kampung yang lain tampak ragu sesaat, tapi segera saja meletakkan meriam bambu yang baru sekali ditembakkan untuk menakut-nakuti kawanan gajah. Alih-alih, mereka menyalakan petasan kecil, sementara yang lainnya mengikuti Suparto membuat bunyi-bunyian dengan mulut. Tak butuh waktu lama, gerombolan gajah itu berbalik pergi, seolah tahu bahwa mereka tak diinginkan ada di sana.

Suparto menatap gajah berukuran lebih kecil yang tampak kepayahan mengikuti langkah gajah-gajah dewasa, kembali ke dalam hutan. Sudah dua puluh lima tahun begini, sejak tahun 1995. 

“Kita harus cari cara lain,” ujar Suparto. “Supaya kita bisa menanam, bisa memanen, dan gajah bisa aman.”

Di pikirannya, terus muncul sosok si pemuda yang menemuinya di dalam hutan. Pemuda itu bicara soal bagaimana kebun Suparto dan kebun-kebun warga lainnya berada persis di kawasan perlintasan gajah Balairaja.

Awalnya, bagi Suparto dan petani-petani lain, kawanan gajah tak lebih dari sekedar hama yang melahap habis semua tanaman sebelum bisa dipanen. Di tahun 1995 Suparto dan petani lain menanam sawit, tapi belum seminggu, mendadak semua bibit yang ditanam musnah dimakan gajah. Berkali-kali dicoba lagi, habis lagi. Rupanya pucuk pohon-pohon sawit yang masih muda terasa sedap bagi gajah.

Petani kemudian beralih ke pohon karet, dengan harapan gajah tak akan memakannya. Siapa tahu getah lengket pohon karet terasa pahit bagi mereka. Namun dugaan itu salah. Bibit-bibit pohon karet ternyata juga menjadi makanan favorit gajah, habis kulitnya dicabik-cabik hingga mati tak bersisa. 

Suparto memahami, bahwa sebagai manusia, merekalah yang masuk ke dalam habitat gajah, bukan sebaliknya. Bagaimana pun kehidupan harus tetap berjalan, mereka telah menetap di sana dan kebun harus tetap ditanam. Akhirnya ia memilih bertahan menanam karet, berusaha menyelamatkan sebisa mungkin, dan pohon-pohon yang tak tersentuh gajah akhirnya bisa tumbuh untuk kemudian disadap. Saat gajah datang, Suparto dan warga desa hanya bisa mengusir. Namun kerugian tak bisa dihindari, kawanan gajah pun terus kembali. 

Zulhusni dari Rimba Satwa Foundation (foto:doc RSF)

Harapan baru datang bersamaan dengan kemunculan pemuda jangkung dan teman-temannya di dalam hutan. Pemuda itu bernama Zulhusni. Ia dan teman-temannya menamai diri sebagai Rimba Satwa Foundation, atau disingkat RSF. Sebuah lembaga yang memiliki perhatian khusus pada kelangsungan hidup gajah Sumatera dan spesies lainnya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki rasa kasih sayang terhadap hewan dan alam. Rasa sayang itulah yang membangkitkan keinginan untuk melestarikan sekaligus melindungi alam dan segenap isinya dari perlakuan manusia. Dengan segala daya upaya mereka menghimpun daya dari orang-orang yang turut mencintai hewan pula, atau orang-orang yang sebelumnya tidak menyukai hewan, dengan terus menerus mendidik hingga akhirnya mencintai hewan dan turut merawatnya.

Misi melestarikan habitat gajah dari berbagai ancaman mengantar RSF membentuk tim penjaga hutan yang ditugaskan berpatroli di area habitat satwa liar untuk membersihkan jerat, racun dan memastikan gajah dalam kondisi aman. Saat berpatroli inilah Zulhusni dan teman-temannya bertemu Suparto. 

Melihat gesekan konflik antara gajah dan petani serta warga Desa Pinggir yang terus terjadi, Zulhusni dan RSF terus berusaha berkomunikasi. Mereka memberi pemahaman bahwa gajah tidak mungkin mengubah jalurnya, naluri akan terus mengantarkan mereka kembali ke jalur yang ada. Gajah juga terpaksa harus memakan tanaman sawit, karet dan tanaman-tanaman lain milik warga karena hutan telah dibabat. Akibatnya tak hanya sumber makanan gajah yang semakin sedikit, habitat mereka pun terus menyempit. Solusinya, manusia harus beradaptasi dan menciptakan harmoni itu dengan tangan sendiri.

“Kami ingin memperkenalkan pada bapak-bapak dan ibu-ibu mengenai agroforestri. Sederhananya, agroforestri ini kita menanam tanaman-tanaman yang tidak disukai gajah tapi bernilai ekonomis bagi petani. Bisa dijual dan bisa dikonsumsi oleh manusia, tapi gajah tidak suka. Ada jengkol, petai, matoa, alpukat, aren, bahkan durian,” kata Zulhusni.

Namun rencana itu tak langsung diterima oleh petani. Rekan Suparto salah satu yang menyuarakan kekhawatirannya.

“Lalu bagaimana dengan kebun karet kami yang sudah ditanam? Sebagian sudah dideres. Lagipula kalau menanam pohon baru, butuh waktu bertahun-tahun sampai panen, itu pun kalau berhasil. Sementara itu bagaimana dengan penghasilan kami?” 

“Ini memang program jangka panjang. Oleh karena itu, bapak-bapak nanti kami dampingi. Kita bikin kelompok tani, kami bantu sediakan bibit-bibit dan hal lain yang diperlukan. Sementara itu sambil jalan menunggu pertumbuhan tanaman hingga bisa dipanen, bapak-bapak bisa mengurus ternak kambing dan sapi.”

Suparto dan warga saling berpandangan.

“Lalu, kami bayar berapa?” tanya Suparto.

“Tidak bayar, Pak. Semuanya ditanggung oleh Pertamina Hulu Rokan. Program ini diinisiasi oleh PHR dan kami sebagai fasilitator.”

“Bibitnya diberi cuma-cuma?”

“Iya, Pak.”

“Ternaknya juga?”

“Betul.”

“Alhamdulillah…”

Dengan demikian, bersama RSF dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), Suparto dan rekan-rekannya kemudian membentuk Kelompok Tani Hutan Alam Pusaka Jaya, diikuti oleh dibentuknya pula kelompok-kelompok lain yang tersebar tak hanya di Kabupaten Bengkalis tapi juga di Kabupaten Rokan Hilir, Siak dan Dumai. Bersamaan dengan pembinaan dan bantuan kepada ratusan anggota kelompok tani, sistem agroforestri itu pun semakin dikembangkan.

Bibit-bibit pohon matoa, durian, jengkol dan tanaman lain yang tidak disukai gajah yang nantinya akan ditanam dalam program agroforestri (foto:Rinai/Riauaktual)

Sedikitnya kelompok-kelompok tani tersebut sudah menanam lebih dari 32.500 pohon yang bernilai ekonomi tinggi namun rendah gangguan gajah di area perlintasan gajah seluas 225 hektare di lansekap koridor Suaka Margasatwa Balairaja dan Giam Siak Kecil.

Selain Agroforestri, PT PHR bersama RSF juga membentuk program konservasi gajah di wilayah kerja Rokan yang meliputi wilayah lebih luas, yaitu sekitar 140.000 hektare. Semua ini berhasil meminimalisir konflik antara manusia dan gajah, bahkan mengatasi 156 dari 178 konflik yang dilaporkan.

Zara Azizah, Tim Public Relations PT PHR menjelaskan bahwa sistem agroforestri mengedepankan adanya keseimbangan antara ekologi dan ekonomi. Sehingga secara ekonomi menghasilkan pendapatan yang optimal bagi masyarakat dan secara ekologi sistem ini dapat mendukung ekosistem yang baik dalam jangka panjang.

"Saat ini konsep agroforestri dikembangkan dan diperkenalkan oleh mitra kami, RSF, terutama bagi masyarakat petani-hutan dengan tujuan mengurangi konflik gajah dan manusia. Selain itu juga mendorong masyarakat dan gajah dapat hidup secara sinergis atau berdampingan, terutama di dalam area pertanian atau kebun masyarakat yang di dalamnya juga menjadi area jelajah gajah," ujarnya.

Azizah menjelaskan bahwa PT PHR berupaya untuk tetap menjaga, melestarikan sekaligus melindungi alam dan terutama spesies gajah yang berada di Wilayah Kerja Rokan. 

“Kami berkomitmen akan terus berlanjut selama kami masih beroperasi di sini. Bicara soal anggaran, kami berikan sangat cukup untuk melindungi tujuh kantong gajah, di mana totalnya berjumlah 75 ekor gajah. Jumlah gajah ini sebenarnya sangat disayangkan juga sudah sangat jauh berkurang, maka dari itu perlu kita jaga. Kami membantu untuk agroforestri, pembinaan habitat, patroli, monitoring, hingga penanganan konflik antara manusia dan gajah. Ini merupakan bentuk tanggung jawab kami kepada masyarakat dan kepada alam yang telah banyak memberikan kami sumber daya. Sembari beroperasi, kita jaga hutan, kita jaga gajah, semua ini diharapkan dapat menjadi energi yang menyatukan kita sebagai satu kesatuan, agar bisa hidup berdampingan dengan nyaman.”

Hingga kini setidaknya sudah ada enam kelompok petani dengan ratusan anggota yang dibina oleh RSF dan PT PHR. Mereka tersebar di empat kabupaten/kota. Kelompok Tani Alam Pusaka Jaya di mana Suparto bergabung ke dalamnya berada di Desa Pinggir, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis. Selain itu ada kelompok Aneka Jaya di Kelurahan Balairaja, Kecamatan Pinggir. Kemudian kelompok Rimba Buluh Sejahtera di Desa Buluh Manis, Kecamatan Bathin Solapan, kelompok Siarang Arang Lestari di Desa Siarang Arang, Kecamatan Pujud, Kabupaten Rokan Hilir. Kelompok Bandar Bakau di Kelurahan Pangkalan Sesai, Kecamatan Dumai Barat, Kota Madya Dumai, dan Kelompok Berkah Lestari di Kampung Bunga Raya, Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak.

Kelompok-kelompok tani ini dibina dan didampingi, hingga perlahan namun pasti kehidupan mulai berubah. Sembari menunggu pohon-pohon jengkol, matoa, alpukat dan lainnya tumbuh, Suparto dan lainnya telaten mengurusi ternak dan telah memberi hasil yang manis.

“Awalnya bantuan PHR itu indukan kambing, ada 13 ekor. Itu sembilan betina dan tiga jantan, sekarang alhamdulillah sudah 23 ekor. Sehat-sehat, bagus pertumbuhannya,” ungkap Suparto.

Selain menanam tanaman yang tidak disukai gajah, RSF dan PT PHR juga mengajari masyarakat melakukan rehabilitasi habitat dengan menanam tanaman yang disukai gajah namun ditempatkan di lokasi-lokasi tertentu. Salah satunya adalah rumput odot (Pennisetum Purpureum). Masyarakat menggarap budidaya rumput ini, dipelihara di belakang rumah-rumah warga. Setelah rumputnya besar kemudian ditanam ulang di jalur gajah atau sebagai pembatas kebun-kebun masyarakat. 

Dengan cara ini, kawanan gajah yang datang dapat tetap berada di jalurnya sembari mendapat sumber makanan tanpa perlu lagi mengganggu tanaman di kebun masyarakat. Tak perlu lagi petasan, meriam bambu, obor dan bunyi-bunyian keras untuk mengusir gajah. 

“Sekarang kalau nampak, kami cuma bilang ‘Datuk datang’, dan kami perhatikan saja mereka lewat. Anak-anak juga suka menonton, semuanya tenang. Tidak perlu ribut-ribut lagi,” pungkas Suparto.

Seperti air dingin yang diteguk saat cuaca panas, memberi kesegaran dan kelegaan pada Suparto juga warga Desa Pinggir. Sejak tahun 1995 dihantui perasaan risau, persepsi negatif yang terus membesar di benak masyarakat tentang gajah dan berkali-kali rugi karena tanaman mereka terus dilahap makhluk besar itu, kini ada harapan baru. Seperti energi yang muncul dari dalam bumi, menyalakan mesin semangat para petani dan masyarakat Desa Pinggir. Menciptakan harmoni kehidupan di mana para gajah dan manusia ternyata bisa hidup berdampingan.

Penulis: Rinai Bening Kasih

#GAJAH

index

Berita Lainnya

index